Pembatalan Wudhu Menurut Perspektif Hadits
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puja dan puji
syukur kemi panjatkan kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat-Nya kami dapat
merampungkan makalah ini walau jauh dari kata sempurna. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad berserta sahabat, karena
berkat beliau kami bisa merasakan manisnya iman seperti sekarang.
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari siapa saja, demi kesempurnaan makalah ini
pada pembuatan selanjutnya.
Kami ingin
mengucapkan terima kasih kepad beberapa pihak yang telah berjasa dalam
penyusunan makalah ini. Pertama,
kepada ibu dosen mata kuliah Hadist yang berkat bimbingannya telah membantu
jadinya makalah ini. Kedua, kepada
rekan-rekan kami di Jurusan Tafsir Hadist khusunya kelas B yang telah membantu
kami berdua dalam berbagai hal. Ketiga, kepada
pihak pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT
membalas kebaikannya dengan balasan yang lebih baik dan banyak.
Terlepas dari
kekurangan makalah ini kami berharap semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca
dan menjadikan amal saleh bagi kami. Aamiin, yaa Rabbal ‘aalamin.
Bandung,
10 Oktober 2012
Pemakalah
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Pembahasan tentang hal yang membatalkan wudhu termasuk
persoalan yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat para ulama. Dalam
prinsip Ahlus Sunnah, perbedaan yang demikian termasuk sesuatu yang lumrah dan
biasa terjadi. Karenanya diperlukan sikap lapang dada untuk menerima perbedaan
pendapat tersebut, selama masing-masing berpegang pada dalil yang ada.
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan
dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang
bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu
(pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat
seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena
adanya sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya
ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang
diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad
masing-masing ahlul ilmi.
Pemakalah sepakat para mujtahid telah beijtihad dengn sangat
baik sehingga pandangan dan pemahamannya harus kita hormati walaupun sebagai
fitrahnya mujtahid adalah seorang manusia yang punya sifat-sifat kemanusiaan
yang tidak luput dari kesalahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Wudu’
menurut lugot (bahasa) berarti bersih dan indah. Sedangkan menurut syara’
berarti membersihkan anggota–anggota wudu’ untuk menghilangkan hadas kecil.
Wudu’
adalah suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan sebelum orang
mengerjakan shalat. Perintah wajib wudu’ ini sebagaimana firman Allah Swt. Yang
bunyinya sebagai berikut:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu akan mengerjakan shalat, basuhlah wajahmu dan dua tanganmu hingga
kedua siku, sapulah kepalamu kemudian basuhlah kedua kakimu hingga kedua mata
kaki”(QS. Al-Ma’idah ,ayat 6)
Ketika
seseorang sudah berwudhu atau sudah shalat seringkali karena sudah dianggap
tidak dibutuhkan lagi mereka melakukan hal-hal yang membatalkan wudhu yang
mengharuskan mereka berwudhu lagi ketika akan shalat atau melakukan ibadah
lainnya yang memerlukan wudhu
Hal-hal yang membatalkan wudhu
adalah sesuatu yang hal yang menyebabkan seseorang harus berwudhu kembali
dikarenakan sesuatu hal menimpa atau terjadi atau dilakukan oleh dirinya
masing-masing.
Dalam dunia islam terlebih fiqih
hal-hal yang membatalakan wudhu sering di istilahkan dengan sebutan nawaqidhul
wudhu. Dalam masalah pembatalan wudhu para mujtahid seringkali berbeda pendapat
dalam menyepakati atau menentukan hal-hal mana saja yang memang pantas dan
benar sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Walaupun begitu para mujtahid tetap
dengan kesadaran penuh masih lebih mementingkan umat daripada ego masing-masing
sehingga masih terpeliharanya rasa hormat dan toleransi antar faham yang satu
dan yang lain yang bertolak belakang.
B. Pembagian Nawaqidhul Wudhu
Sesuai dengan apa yang pemakalah
tuliskan di bab pendahuluan bahwa ada nawaqidhul wudhu yang disepakati oleh
ulama ada yang masih diperdebatkan maka pemakalah membagi nawaqidhul wudhu
menjadi 2 yaitu:
1. Yang disepakati:
a. Buang air kecil atau kencing
(BUKHARI - 6440) : Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin
Nashr telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq dari Ma'mar dari Hammam dari
Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah tidak
menerima shalat salah seorang diantara kalian jika berhadas hingga ia
berwudhu."
b. Buang air besar
Allah I berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan
perkara yang mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat): “Atau
salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
c. Kentut
(BUKHARI - 132) : Telah menceritakan
kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali berkata, telah mengabarkan kepada
kami Abdurrazaq berkata, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin
Munabbih bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Tidak akan diterima shalat seseorang yang
berhadats hingga dia berwudlu." Seorang laki-laki dari Hadlramaut berkata,
"Apa yang dimaksud dengan hadats wahai Abu Hurairah?" Abu Hurairah
menjawab, "Kentut baik dengan suara atau tidak."
d. Keluarnya madzi dan wadzi
(BUKHARI - 129) : Telah menceritakan
kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Daud
dari Al A'masy dari Mundzir Ats Tsauri dari Muhammad Al Hanafiyah dari 'Ali bin
Abu Thalib berkata, "Aku adalah seorang laki-laki yang mudah mengeluarkan
madzi, lalu suruh Miqdad bin Al Aswad untuk menanyakan hal itu kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu ia pun menanyakannya kepada beliau, dan
beliau menjawab: "Padanya ada kewajiban wudlu."
e. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah haid
dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar
yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah
hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu karena hadats. Dan selama
masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat,
puasa dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan
bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid
dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah,
karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia
tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin t berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin
berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari
bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’
Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50)
f. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib
baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani
seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/ janabah yang berarti dia telah hadats
besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang
merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
g. Jima’ (senggama)
(MUSLIM - 525) : Dan telah
menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Abu Ghassan al-Misma'i --lewat jalur
periwayatan lain-- dan telah menceritakannya kepada kami Muhammad bin
al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar mereka berkata, telah menceritakan kepada kami
Muadz bin Hisyam dia berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku dari Qatadah
dan Mathar dari al-Hasan dari Abu Rafi' dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu
bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila seorang lelaki
duduk di antara empat cabang milik perempuan (maksudnya kedua paha dan kedua
tangan), kemudian menekannya maka sungguh dia wajib mandi." Dan dalam
hadits Mathar, "Walaupun dia belum keluar mani." Zuhair berkata,
"Duduk di antara mereka dan empat cabang wanita." Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Amr bin 'Abbad bin Jabalah telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Abi 'Adi --lewat jalur periwayatan lain-- dan telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepadaku
Wahb bin Jarir keduanya meriwayatkan dari Syu'bah dari Qatadah dengan isnad ini
hadits semisalnya, hanya saja dalam hadits Syu'bah "Kemudian melakukan
adegan yang serius", dan tidak mengatakan "Walaupun tidak keluar air
mani."
2. Yang menjadi perdebatan
a. Menyentuh wanita
Ada 2 dalil dari 2 pihak yang ikhtilaf mengenai masalah ini yang
pertama adalah
Ø An Nisa(4):43 dan al-Maidah (5):6
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan
jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari buang air
(al-ghaith) atau kamu telah sentuh-menyentuh perempuan (al-mulamasah), kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.( An Nisa(4):43)
” Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur…..( al-Maidah (5):6)
Imam syafi’I berpendapat bahwa:
“wudlu dari al mulamasah (sentuh-menyentuh) dan
air besar (al ghaith)”
….. (An Nisa(4):43 ).
….. (An Nisa(4):43 ).
Maka serupalah
bahwa Ia (Allah) mewajibkannya wudlu dari al- ghaith (air besar atu
berak) dan Ia (Allah) mewajibkannya dari sentuh -menyentuh ( al -mulamasah).
Allah ta’ala menyebutkan al-mulamasah itu bersambaung dengan al- ghaith, sesudah menyebutkan al-janabah (junub). Maka serupalah al-mulamasah bahwa adalah dia itu sentuhan dengan tangan. Dan Pelukan itu bukan al-janabah.
Allah ta’ala menyebutkan al-mulamasah itu bersambaung dengan al- ghaith, sesudah menyebutkan al-janabah (junub). Maka serupalah al-mulamasah bahwa adalah dia itu sentuhan dengan tangan. Dan Pelukan itu bukan al-janabah.
Dikabarkan
kepada kami oleh malik dari ibnu syihab, dari salim bin Abdullah, dari ayahnya,
yang mengatakan : “Pelukan lelaki akan isterinya dan menyentuhkannya dengan
tangannya itu termasuk al-mulamasah. Mka siapa yang memeluk isterinya atau
menyentuhkannya dengan tangannya, maka haruslah ia berwudhu kembali”
Telah sampai
kepada kami dari ibnu mas’ud, yang mendekati dengan makana ucapan ibnu umar : ”
Apabila seorang lelaki membawa tangannya kepada isterinya atau sebagahian
tubuhnya kepada isterinya, yang tiada berlapik di antara dia dan isterinya,
dengan nafsu berahi atau tiada dengan nafsu birahi, niscaya wajiblah ia
berwudlu dan juga isterinya berwudlu kembali.
Demikian juga,
kalau isterinya menyentuhkannya. Maka wajiblah ia berwudlu kembali dan
juga isterinya berwudlu kembali. Samalah pada demikian itu semua.
Tetapi, ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini
lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan
tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat
seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu
‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi,
Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu
Katsir, 2/227)
Dalil yang ke 2 adalah:
Ø Hadist dari Aisyah
(BUKHARI - 369) : Telah menceritakan kepada kami Isma'il
berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Abu An Nadlr mantan budak 'Umar
bin 'Ubaidullah, dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman dari 'Aisyah isteri Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Aku pernah tidur di depan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sementara kedua kakiku di arah Qiblat
(shalatnya). Jika sujud beliau menyentuh kakiku, maka aku tarik kedua kakiku.
Dan jika berdiri aku kembali meluruskan kakiku." 'Aisyah berkata,
"Pada saat itu di rumah-rumah belum ada lampu penerang."
Para ulama ada yang berpendapat hasdist ini shahih ada yang
tidak. Para ulama yang sejalan dengan imam syafi’I mengatakan bahwa hadist ini
dhoif dan telah didho’ifkan oleh imam bukhari. Karena dalam sanadnya ada
seorang rawi yang bernama Isma’il yang dinilai oleh beberapa ulama hadist
sebagai orang yang dhoif.
b. Muntah
Di antara ulama ada yang berpendapat
bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan
bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi r pernah muntah, lalu beliau
berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid
Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda
benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau r.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata:
“Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada
sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang
sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib
(goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268).
Asy-Syaikh Ahmad Syakir t di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun
Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya
wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.”
(ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
- Di antara mereka
ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan
pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut,
memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268). Al-Imam
At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi r dan
selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan
muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad
dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada
keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i.
(Sunan At-Tirmidzi, 1/59)
- Adapun ulama yang
lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang
mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan
bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan
wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu
kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234). Inilah
pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
- Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
- Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
- Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama
- Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan
keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan,
darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya
banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi
Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar,
Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan
Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan
tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’atur Rasail
Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana
dinukilkan oleh Asy-Syaikh Albani t. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya
berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah
bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan)
muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling
dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat
oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari
orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il
meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi
yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh
penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang
meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini
dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal
ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal,
begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam
periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar,
1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar t mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan
selain beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
(Kitab Al-umm (kitab induk), Al- imam
Asya-syafi’i R.A., Jilid I Penerbit Victory Agencie Kula Lumpur, 1989)
Kitab shahih Bukhari
Kitab Shahih Muslim
Tafsir jalalain, Beirut
Nailul
Authar, 1/269
Bulughul
Maram hal. 36
Tamamul
Minnah
Al-Majmu’,
2
Asy-Syarhul
Mumti
Asy-Syarhul
Mumti
Ta’liqat
Ar-Radhiyyah
Tafsir
Ibnu Katsir
Komentar