Norman Calder Common Link sebagai tokoh yang kebal dari kritik"


A.    Biografi Norman Calder
Mengenai biografi lengkapnya pemakalah kesulitan mendapatkan datanya. Namun, dari beberapa website penulis dapati bahwa Norman Calder meninggal tahun 1998 pada usia 47 tahun. Dari data tersebut penulis asumsikan bahwa dia lahir sekitar tahun 1951. Pada saat pensiun dia adalah Dosen senior dalam kajian-kajian Arab dan Islam di Universitas Manchester, Inggris. Dia juga mengajar kajian ketimuran di Universitas Oxford dan menerima gelar doktornya dari SOAS, University of London.[1] Sebagai seorang sarjana dalam hukum Islam, Dr. Calder menganalisis teks-teks hukum Islam pada masa awal dalam banyak kajian. Oleh karena itu dia lebih dikenal sebagai seorang tokoh yang ahli di bidang hermenetika dan studi hukum Islam. Selain itu dia juga dikenal karena beberapa karyanya yang berani menentang tokoh-tokoh terkemuka mengenai asal-usul hukum Islam. Pada awalnya dia lebih tertarik meneliti hal-hal yang berbau Syi’ah. Kemudian dilanjutkan pada penelitian-penelitian yang lebih filosofis pada hermenetika Sunni. Penelitiannya didasarkan pada pembacaan sensitif teks-teks abad pertengahan yang diteliti dengan metode kritik kontemporer. Selama hidup 47 tahun dia menghasilkan beberapa karya. Beberapa karyanya adalah berikut ini :

1.      Studies in Early Muslim Jurisprudence. Oxford: Oxford University Press, 1993
2.      Classical Islam: A Sourcebook of Religious Literatur. Routledge, 2003
3.      Islamic Jurisprudence in the Classical Era. Cambridge: Cambridge Unibersity press, 2010
4.      Interpretation and Jurisprudence in Medieval Islam. Ashgate Variorum, 2006. (eds)
5.      Studies in Islamic and Middle Eastern Texts and Tradition in Memory of Norman Calder. Oxford: Oxford University, 2000.

Selain 5 karya tersebut Norman Calder mempunyai lebih dari dua puluh karya yang mengkaji tentang al-Qur’an, tafsir, dan aspek-aspek pemikiran Syi’ah dan Sunnah, yang diterbitkan dalam bentuk bunga rampai dan jurnal-jurnal ilmiah.[2]

B.     Pemikiran Norman Calder mengenai Common Link
Dalam beberapa dekade teori common link yang ditemukan oleh Joseph Schact telah mengalami berbagai kritikan dari mulai definisi, fungsi, dan eksistensinya dalam periwayatan hadits Nabi Muhammad SAW. Banyak tokoh-tokoh terkemuka di bidang studi hukum Islam ataupun hadits mencoba mengkritik teori tersebut. Dimulai dari G.H.A Juynboll yang mengembangkan teori tersebut lalu mengungkapkan kesimpulannya. Diteruskan oleh Harald Motzki yang menyanggah premis-premis yang dikatakan oleh Juynboll mengenai teori ini yang hasilnya sangat berpengaruh pada eksistensi hadits Nabi. Begitupun juga Norman Calder mempunyai pandangan sendiri mengenai teori ini.
Namun untuk memahami maksud dari kritiknya terhadap teori tersebut dengan lebih baik, sebelumnya penulis akan terlebih dahulu membicarakan pandangannya mengenai proses pembukuan teks-teks dan bahan-bahan tertulis, termasuk di dalamnya adalah teks-teks hadits.
Dalam Studies in Early Muslim Jurisprudence,[3] Calder mengkaji enam teks hukum dari tiga aliran hukum islam. Teks-teks itu adalah : Mudawwanah Sahnun, Muwaththa’ Malik, beberapa teks Hanafi, kitab al-Umm asy-Syafi’i, Mukhtashar Muzani, dan Kitab al-Kharaj Abu Yusuf. Dalam buku tersebut, Calder memulai kajiannya dari aliran fiqih Maliki, lalu Hanafi, dan setelah itu Syafi’i.
Dalam buku ini Norman Calder menggunakan e silentio argument, yang telah menuntunnya menanggali Muwaththa’ Malik lebih belakangan daripada apa yang secara umum dipercayai sampai sekarang, bahkan lebih belakangan daripada penanggalan yang dilakukan oleh Goldziher dan Schacht, orang yang sangat skeptis terhadap historitas literatur Islam awal. Misalnya, untuk mendukung argumennya, Calder mengutip sebuah hadits, yang terdapat dalam Muwaththa’ resensi Yahya bin Yahya al-Laitsi al-Mahmudi (w. 234), tetapi tidak terdapat dalam Mudawwanah karya Sahnun (2. 240), koleksi ajaran-ajaran dan riwayat-riwayat Malik dan murid-muridnya. Ia kemudian menduga bahwa hadits tersebut seharusnya tersedia dalam Mudawwanah kalau Malik telah meriwayatkan dari Nabi. Karena itu, ia berargumen bahwa Muwaththa pasti lebih belakangan daripada Mudawwanah.[4]
Namun argumen ini Dr. Phil Komarudin Amin bantah. Dalam bukunya beliau mengatakan bahwa asumsi Calder bisa saja salah. Seperti yang beliau tuliskan berikut ini :
Dalam penelitian saya pada hadits puasa yang dibahas secara rinci dalam bab yang akan datang, saya menemukan kasus sebagai berikut; sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abd ar-Razaq dari Ibnu Juraij-Atha’, yang tidak ditemukan dalam mushannaf Abd ar-Razaq, tetapi kemudian belakangan ditemukan dalam Shahih Muslim dengan isnad “ Muslim – Muhammad bin Rafi’ – Abd ar-Razaq – ibnu Juraij – Atha’ – abu Shalih – abu Hurairah – Nabi. Kalau kita mengikuti premis Juynboll, maka kita pasti menuduh Muslim atau gurunya Muhammad bin Rafi’ telah memalsukan hadits tersebut. Namun demikian, terdapat sejumlah alasan yang sangat kuat untuk menolak dugaan bahwa Muslim atau gurunya telah membuat-buat hadits hadits tersebut, meskipun tidak terdapat dalam Mushannaf abd ar-Razaq. Pertama, adalah kekeliruan logis menganggap tidak terdapatnya hadits tersebut dalam Mushannaf sebagai bukti yang sangat kuat bahwa abd ar-Razaq tidak mengetahui hadits tersebut. Ketidaktahuan hanyalah salah satu kemungkinan alasan ketiadaan hadits tersebut dalam Mushannaf sebagai bukti yang sangat kuat bahwa abd ar-Razaq tidak mengetahui hadits tersebut. Ketidaktahuan hanyalah salah satu kemungkinan alasan ketiadaan hadits tersebut dalam Mushannaf. Adalah juga mungkin karena bahwa abd ar-Razaq merujuk hadits tersebut dalam teks yang telah hilang atau termutilasi pada masa Ishaq bin Ibrahim ad-Dabari, perawi yang kepadanya bagian besar Mushannaf merujuk. Dengan kata lain, klaim Muslim telah menerima hadits dari abd ar-Razaq dari Muhammad bin Rafi’ tidak dapat ditolak hanya karena argument e silentio. Demikian pula sebuah perbandingan antara riwayat abd ar-Razaq yang terdapat dalam shahih Muslim dengan varian-varian dari perawi lain dari ibnu Juraij, yaitu, riwayat Rauh dan Hisyam yang masing-masing terdapat dalam Musnad ibnu Hanbal dan Shahih al-Bukhari, mengungkap bahwa riwayat-riwayat tersebut memiliki ciri-ciri yang khas yang membawa kita untuk menyimpulkan bahwa ibnu Juraij adlah sumber bersama dari abd ar-Razaq, Hisyam dan Rauh. Saling ketergantungan antar teks-teks dapat dinafikan. Dengan kata lain, riwayat yang disandarkan kepada abd ar-Razaq, karena riwayat tersebut. Berdasarkan contoh ini dank arena sumber-sumber yang tersimpan dari abad kedua dan bahkan abad ketiga hijriah sangat terpencar-pencar, maka merujuk kepada argument e silentio adalah berbahaya dan dapat membawa kepada asersi yang tidak berdasar.[5]

Selain itu Kajian Calder dalam buku ini, terutama berpijak pada analisis sastra atas beberapa teks fiqih yang paling pokok dan dilanjutkan dengan diskusi umum mengenai yurisprudensi Islam pada abad-abad awal tahun hijriah. Ketika menilai bentuk sastra dari karya-karya tersebut pada saat kemunculannya, Calder menyatakan bahwa dikotomi tradisional antara periwayat lisan (oral) dan tertulis (written) seharusnya tidak digambarkan sedemikian tajam.[6]
Teks-teks yuristik, dalam bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan periwayatan hadits, seperti haddatsana, qala, dan akhbara, membuktikan adanya aktivitas lisan yang signinfikan, yakni kreativitas dan periwayatan. Selain itu, Calder menekankan pentingnya mengakui bahwa teks-teks tertulis sebagaimana yang ada sekarang ini tidak hanya mempresentasikan sebuah bagian dari korpus tertulis pada saat itu, tetapi juga sebuah bagian yang lebih kecil dari aktivitas lisan. Lingkungan Arab Islam awal hingga dekade abad ketiga hijriah adalah linkungan yang sangat produktif, baik bagi literatur lisan maupun tertulis. Literatur lisan, setidaknya dalam konteks yuristik, sering kali merupakan produk dari sebuah proses diskursif. Sedangkan literatur memperlihatkan adanya aktivitas lisan ini dan tampaknya mereka juga berupaya menciptakannya kembali. Buku-buku merupakan literatur kedua setelah periwayatan secara lisan dan pada awalnya ada dalam bentuk buku-buku catatan pribadi.[7]
Pemilik sebuah buku catatan, lanjut Calder, mengontrol isinya. Berbagai kelompok yang tertarik menulis sama’ (pendengaran) mereka dari si fulan dan si fulan. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa sebuah sama’ dari seseorang sama dengan sama’ orang lain meskipun dari guru yang sama. Dan, sangat mungkin bahwa dua pendengar pada majlis yang sama akan membuat catatan berbeda. Mereka merekam ucapan guru mereka dan menuliskannya dengan kata-kata mereka sendiri. Bahkan mungkin mereka membaca kembali catatan-catatan yang berbeda itu di hadapan guru mereka dan kemudian mendapat persetujuannya. Akhirnya, mereka menyimpan dan meriwayatkan bahan-bahan mereka sendiri, bukan buku dari guru mereka.[8]
Otoritas atau keterampilan para periwayat semacam inilah yang akhirnya menimbulkan sebuah teks tertentu yang kemudian disandarkan kepada seorang guru yang disebutkan namanya. Antara buku catatan yang pertama dan teks tertentu ada beberapa tahap yang dialami.[9] Oleh karena itu, menurut Calder, yang memproduksi buku-buku catatan ini adalah para murid, bukan para guru. Buku-buku catatan itu mungkin disebarkan atau dihancurkan, namun kandungannya disalin ke buku-buku catatan yang lain walaupun bukan tidak mungkin bahwa bentuk dan kandungannya mengalami berbagai perubahan dalam proses penyalinannya. Pada akhirnya, sebuah sistem kontrol dikembangkan di mana seorang guru mengarang dan menerbitkan buku-bukunya dengan cara mempekerjakan para sekretarisnya atau dengan cara meminta para muridnya untuk membandingkan catatan-catatan mereka dengan bukunya.[10] Dengan demikian, kata Calder, pada abad ketiga hijriah terdapat suatu pergeseran dari lingkungan lisan yang dominan ke lingkungan tertulis melalui mediasi buku-buku catatan ini, seperti dikatakan Calder berikut ini:

The scholar's notebook and the institutional redaction are then the two basic types of early juristic literature. Of the former there may be no extant examples. Their existence, however, is securely inferred from the forms and sometimes from the express words of institutional redactions, and it is confirmed by numerous references in biographical and other literature.[11]

Lebih jauh Calder berkeyakinan bahwa tidak hanya enam buku yang dikajinya, tetapi juga seluruh literatur Arab-Islam yang diklaim berasal dari abad pertama, kedua, dan awal abad ketiga hijriah telah mengalami pertumbuhan organis dan proses redaksional multi-level. Teori perubahan organik bagi literatur yuristik lisan dan tertulis ini digunakan oleh Calder sebagai latar belakang bagi upayanya untuk menunjukan bahwa matan hadits yang sama, yang memiliki seorang common link (atau beberapa muridnya), melainkan sebagai akibat dari sebuah skenario yang sangat berbeda. Oleh karena itu, calder mengingkari bahwa metode common link itu dapat dipakai untuk mengetahui penanggalan hadits. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang terdapat dalam literatur hadits sangat terkait dengan metode kritik isnad yang berlaku dikalangan para ahli hukum dan yang lainnya pada paruh kedua abad ketiga hijriah.[12]
Adapun yang dimaksud Calder dengan skenario yang sangat berbeda adalah sebagai berikut: jika ada sebuah teks (matan) hadts yang diterima oleh beberapa kelompok yang berbeda dalam Islam, masing-masing kelompok cenderung merebut (capture) matan hadits yang orisinal dan memberinya Isnad yang merefleksikan kelompok mereka. Akan tetapi, karena hampir semua kelompok mengakui dan mengenal para pahlawan yang umum pada masa nabi maka (biasanya) pada tingakat tabiin, isnad cenderung mulai bertemu.[13]
Secara lebih khusus, kata Calder, skenario semacam ini dapat dilihat ketika ada kompetisi antara berbagai kelompok yang masing-masing terlibat dalam proses kritik isnad satu sama lain. Lagi-lagi, karena mereka sama-sama memiliki rasa hormat pada generasi sahabat dan tabi’in, mereka cenderung “menggeser” sebuah hadits dengan cara menghancurkan salah satu dari dua periwayat: periwayat ketiga atau keempat, yang berfungsi sebagai periwayat dari common link. Misalnya, aliran X menjelaskan bahwa hukum tentang suatu masalah adalah begini atau begitu berdasarkan sebuah hadits dengan isnad berikut ini:
Nabi - A – B – C – D – E. Sementara itu, aliran Y sebagai lawan dari aliran X mengetahui bahwa hukum tentang masalah yang dibicarakan tidak begini atau begitu, sebagaimana yang dijelaskan oleh aliran X. akibatnya, aliran Y terpaksa mengkritik isnad hadits ini. Akan tetapi, ia tidak dapat mengkritik nabi, sahabat atau tabiin dengan alasan yang telah disebutkan di depan. Yang dapat dikritik olehnya adalah C, periwayat ketiga, dengan menyatakannya sebagai periwayat yang memiliki hafalan yang buruk.[14]
Karena mengetahui lemahnya hubungan periwayatan B – C, kelompok A yang setuju dengan hadits tersebut memperkuat posisi mereka dengan menemukan isnad baru yang menunjukan adanya hubungan periwayatan B – J di mana J dikenal sebagai periwayat yang memiliki daya hafalan yang luar biasa kuat. Sementara kelompok B yang menolak hadits ini berusaha menggantinya dengan isnad lain yang lemah: B – K, di mana K adalah pembuat bid’ah yang terkenal. Atau lebih buruk lagi, mereka mengemukakan isnad B – K – J, di mana J yang dapat dipercaya sebenarnya dikelabui oleh K, pembuat bid’ah itu. Aliran A senantiasa memperbaiki periwayat yang lemah dan mencoba mengemukakan isnad yang berbeda sampai kelompok B menyerah. Dengan demikian, kelompok yang ingin menerima hadits tersebut bereaksi dengan cara memproduksi isnad-isnad baru di mana para periwayat yang diserang oleh kelompok lain diganti dengan periwayat lain yang lebih dapat dipercaya. Jika isnad-isnad ini ditolak lagi maka diciptakanlah isnad-isnad baru untuk memperbaikinya. Sebaliknya, kelompok yang menolak hadits tersebut juga memalsukan hadits dengan memakai periwayat-periwayat lemah di mana setelah itu mereka mengkritiknya.[15]
Akibatnya, pro dan kontra kritik isnad diarahkan kepada para periwayat lemah yang berada pada generasi ketiga atau keempat yang terdapat dalam isnad hadits. Hal ini, menurut Calder, menyebabkan terjadinya fenomena common link yang sebenarnya tidak menunjukan apa-apa tentang asal-usul matan sebuah hadits, tetapi lebih mereflesikan proses kritik isnad dan kompetisi antar berbagai kelompok dalam islam pada paruh kedua abad ketiga atau sesudahnya. Bagi Calder, common link dalam faktanya bukanlah orang yang memalsukan atau menyebarkan hadits, melainkan seorang tokoh terdahulu sebelum tokoh yang menjadi focus pertikaian dalam kritik isnad satu sama lain. Meskipun demikian, Calder tidak beranggapan bahwa metode common link tidak memiliki kebenaran sama sekali karena dalam beberapa kasus metode ini dapat digunakan.[16]
Untuk mendukung teori di atas, Calder menganalis isnad sebuah hadits tentang mass adz-dzakar, dari materi ma’ani al-Atsar karya ath - Thawi, di mana madzhab maliki dan hanafi mengambil oposisi yang bertentangan . hasil analisisnya terhadap isnad hadits ini membawanya kepada kesimpulan umum tentang fenomena common link sebagaimana digambarkan di atas. Apabila scenario Calder benar adanya, maka teori common link kehilangan fungsi dan kegunaanya dalam penanggalan hadits. Tetapi, scenario Calder sama sekali tidak meyakinkan, karena ia mendasarkan kesimpulannya hanya pada sebuah hadits dalam Ma’ani al-Atsar karya ath-Thahawi, yang menurut ia sendiri besifat partisan dan karya-karya yang tidak hanya dengan argument-argumen ad hoc, tetapi juga dengan manipulasi yang tidak bertanggung jawab dan sewenang-wenang (arbitrary) terhadap dicta Nabi dan Sahabat. Skenario yang diklaim oleh Calder tersebut telah ditantang oleh Motzki. Setelah menganalisis jalur isnad dan mengidentifikasi common link yang ia teliti tentang “kucing”, ia menyimpulkan bahwa scenario Calder tidak bisa digunakan dalam kasus hadits tersebut. [17]
Beberapa menganggap bahwa Calder kurang mengerti mengenai teori common link ini. Terlihat ketika Calder menggunakan metode common link pada bab II bagian empat dalam bukunya, jelas bahwa ia tidak memahami fungsi fenomena common link sebagaimana dipahami para sarjana barat. Pada halaman 37-38, misalnya, Calder berbicara mengenai beberapa periwayat yang menduduki posisi common link, padahal sebenarnya yang ada hanyalah seorang common link, yakni Ibn Wadhdhah. Sedangkan isnad campuran yang mengungkapkan hubungan periwayatan Ibn Wadhdhah – Yahya – Malik dan hubungan periwayatan melalui Ubaidillah bin Yahya. Akan tetapi, Calder masih mempertentangkan bahwa Yahya kemungkinan adalah pengarang al-Muwaththa’. Setidaknya, demikianlah yang dikatakan Motzki.[18]



Daftar Pustaka

Amin, Phil Komaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits. Jakarta: Hikmah Mizan, 2009.

Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam: The Authencity of Muslim Literature from the Formative Period. Surrey; Curzon Press, 2000.

Calder, Norman. Studies in Early Muslim Jurisprudence. Oxford: Oxford University Press, 1993.

Masrur, Ali. Teori Common Link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. Yogyakarta: LKiS, 2007.

Motzki, Harald. The Prophet and the Cat: On Dating Malik Muwaththa’ and Legal Tradition,” dalam Jerussalem Studies in Arabic and Islam 22, 1998.



[1] Farhad Daftary, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, (Erlangga, 2002), h.xii
[2] Ibid.,
[3] Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, (Oxford: Oxford University Press, 1993).
[4] Phil Komarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits. (Jakarta selatan: Mizan Publika, 2009), hlm. 178

[5] Ibid.,
[6] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, (Yogyakarta: Lkis), hlm. 191
[7] Ibid.,; Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, ... hlm 161-173; Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Periode, (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 45-46
[8] Ibid., Ali Masrur,
[9] Ibid.,; Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, ... hlm. 173-174
[10] Ibid.,; Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, ... hlm. 173-174
[11] Ibid.,; Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, ... hlm. 163
[12] Ibid.,; Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, ... hlm. 240; Harald Motzki, The Prophet and the Cat: On Dating Malik Muwaththa’ and Legal Tradition, hlm. 36
[13] Ibid., ; Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, ... hlm. 237
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Ibid.,
[17] Phil Komarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits., ... hlm. 160-161
[18] Harald Motzki, The Prophet and the Cat: On Dating Malik Muwaththa’ and Legal Tradition, hlm. 36; Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, ... , hlm. 194

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Lubabul Hadits (Matan Tanqihul Qaul) Bahasa Sunda (Pembukaan)

Makalah Objek Kajian Filsafat

Syair-syair-an (لو لا مربى ما عرفت ربى)