DEFINISI 'ADALAH DALAM ILMU HADITS
‘Adâlah merupakan hal yang penting dalam ilmu hadis.
Penetapan seseorang ditetapkan sebagai orang yang ‘âdil atau tidak,
berakibat pada diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkannya. Maka tak
heran jika Ibnu Shalâẖ (W 642 H) mengatakan dalam bukunya bahwa Jumhur ulama
ahli hadis dan Fiqih telah sepakat bahwa perlu beberapa syarat yang dibutuhkan
supaya periwayatan seseorang bisa diterima. Dua syarat utama yang harus
dimiliki oleh seorang perawi yang ingin riwayatnya diterima adalah dhâbith dan juga ‘âdil. Selain itu Ibnu Shalâẖ juga mensyaratkan hal
lain yang sudah maklum yaitu harus seorang yang muslim, baligh, ‘aqil,
selamat dari sebab-sebab fâsiq, menjaga murû’ah, dan juga harus
orang yang cekatan bukan orang yang lalai ataupun bodoh.[1]
Selain itu, penetapan
seseorang menjadi seorang yang ‘âdil juga bisa menjadi dasar status dan
penamaan suatu hadis yang sesuai dengan klasifikasinya yang bermacam-macam
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Shalâẖ (W 642 H) yang mengatakan bahwa hadis
mempunyai lebih dari 65 jenis.[2] Mengingat pentingnya hal tersebut. Maka, harus diketahui semua yang berkaitan
dengannya, dimulai dari definisi.
Memberikan suatu definisi yang
tuntas dan lengkap terhadap suatu istilah merupakan pekerjaan yang tidak mudah.[3] Hal ini bisa membuat para ahli berdebat
panjang mengenai batasan yang harus ditentukan supaya pemberian definisi tidak terlalu
melebar maupun terlalu singkat. Maka, demikian pula dengan definisi ‘adâlah dalam
ilmu hadis.
‘Adâlah dalam hal periwayatan hadis lebih umum
dari ‘adâlah dalam persaksian. ‘Adâlah dalam hal persaksian
dibatasi bahwa salah satu syaratnya harus orang yang merdeka sedangkan dalam
periwayatan hadis seorang budak yang belum merdeka bisa diterima
periwayatannya.[4] Selain itu menurut Imam al-Syâfiî’’ dan
ulama jumhur, ‘adâlah dalam hal persaksian juga tidak menerima
persaksian dari anak kecil yang belum tamyiz. Sedangkan khabar nya
masih diperselisihkan apakah diterima atau tidak.[5] Untuk itu perlu dipaparkan definisi dari
para ahli, dimulai dari segi bahasa maupun istilah.
Secara etimologi ‘adâlah
merupakan masdar dari kata ‘adala yang merupakan kata kerja untuk
menunjukkan pekerjaan yang telah dilakukan. Padanan dari kata ini dalam bahasa
arab adalah istiqâmah yang berarti lurus. Al-Jurjani juga menuliskan
bahwa kata ini secara syariat merupakan penggambaran
tentang sesuatu yang selalu lurus jalannya dalam mengerjakan kebenaran dengan
menjauhi segala yang dilarang oleh agamanya.[6] Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang dinilai oleh ulama mempunyai
sifat ‘adâlah merupakan orang istimewa yang sangat menjunjung nilai
integritas dalam berbuat sesuatu, termasuk menyampaikan hadis.
Dalam Lisan al-Arab,
secara etimologi kata al-‘adl mempunyai pengertian yang sama dengan istiqâmah
yaitu sesuatu yang lurus. Namun kata ini dikaitkan dengan sesuatu yang
terdapat dalam jiwa yang merupakan antonim dari kata lacur. Jadi jika dikaitkan
dengan sifat seseorang maka orang yang disifati kata ini merupakan seseorang
yang lurus dalam hal yang baik. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa orang
yang mempunyai sifat ini dalam dirinya dapat dipercaya perkataannya.[7]
Selain berarti istiqâmah, kata ‘adl mempunyai beberapa arti.
Dalam bukunya, Syuhudi Ismail menyebutkan beberapa kata yang menjadi padanan
kata ini. Kata ‘adl bisa berarti al-‘adalat atau al-‘udulat yang
berarti keadilan, al-i’tidâl yang berarti pertengahan, al-mayl ila
al-haq yang berarti condong kepada kebenaran, dan tentu saja istiqâmah yang
berarti lurus.[8]
Jalâl al-Dîn al-Suyuthî (849-911 H/ 1443-1505 M) menyebutkan
setidaknya ada enam pengertian dari segi bahasa yang dapat diterapkan bagi kata
‘adâlah. Yang pertama kata ‘adâlah merupakan lawan dari
kekurangan dan kedzaliman. Yang kedua kata ‘adâlah merupakan lawan dari
kefâsiqan dan kemaksiatan. Yang ketiga kata ‘adâlah bisa berarti
terpelihara, dengan pengertian potensi jiwa yang terhindar dari perbuatan keji,
maksiat dan hal-hal lain seperti halnya para Nabi dan malaikat. Yang keempat
kata ‘adâlah bisa berarti terjaga dari dosa dan kesalahan sebagai
karunia dari Allah SWT tanpa diupayakan sebagaimana sifat para auliyâ. Yang
kelima kata ‘adâlah bisa berarti terjaga dari kesalahan berijtihad,
sebagaimana terdapat dalam doktrin Syiah yang diterapkan pada para imamnya yang
dikatakan ma’shum. Yang keenam kata ‘adâlah bisa berarti
terhindar dari kebohongan yang disengaja dalam periwayatannya dengan melakukan
sesuatu yang menyebabkan tidak diterima perkataannya.[9]
Dari segi istilah kata ini
bisa diartikan beragam tergantung dengan ruang lingkup yang dikaitkan dengan
penambahan, pengurangan, dan hal-hal lain yang disesuaikan. Oleh karena itu,
penulis hanya akan menguraikan definisi ‘adâlah dalam ruang lingkup ilmu
hadis saja. Khususnya, pendapat-pendapat ulama Sunni mengenai definisi kata
ini.
Dalam Alqur’an tepatnya dalam
surat al-Hujurat ayat 16 Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[10]
Ayat ini merupakan dasar alasan
diterapkannya kritik pada seorang rawi. Sebelum apa yang diriwayatkannya
diterima atau tidak, kita harus memeriksa apakah orang tersebut fâsiq
atau tidak. Dengan kata lain, pengertian ‘adâlah menurut ayat ini adalah
tidak fâsiq. Maka pada zaman ini mungkin saja salah satu kriteria seseorang
dikatakan ‘âdil adalah orang tersebut tidak fâsiq.
Seorang perawi hadis memang
haruslah orang yang ‘âdil dan juga dhâbith, yaitu seorang muslim
dewasa yang sepenuhnya memiliki kapasitas intelektual, yang tidak pernah
melakukan dosa besar. Dalam karyanya al-Kifâyah fi ‘Ilm al-Riwâyah, Khatib
al-Baghdadi (368-463H) menyebutkan, bahwa Nabi mempunyai kriteria sendiri untuk
menentukan seseorang pantas disebut sebagai orang yang ‘âdil. Menurut
Khatib al-Baghdadi Nabi menyebutkan bahwa orang yang pantas disebut mempunyai
sifat ‘adâlah merupakan orang yang tidak lalim serta berkhianat,
sehingga tidak ada celah seseorang meragukan integritasnya.[11]
Dua pengertian di atas merujuk
pada pengertian Alqur’an dan pendapat Nabi walaupun dikatakan dalam buku Khatib
al-Baghdadi. Menurut ayat di atas dan pendapat Nabi (menurut Khatib
al-Baghdadi) seseorang yang bisa dikatakan mempunyai sifat ‘adâlah merupakan
orang yang jauh dari kata fâsiq yaitu yang tidak berbuat lalim dan
berkhianat sedikit pun, sehingga tidak ada celah bagi seseorang meragukan
akhlaknya.
Al-Râzi (240-327 H) sendiri berpendapat
bahwa ‘adâlah mempunyai makna yang dalam dan didefinisikan sebagai
kekuatan rohani (kekuatan spiritual) yang mendorong untuk selalu berbuat taqwa,
yaitu mampu menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi atau sama sekali tidak melakukan
kebiasaan-kebiasaan jelek seperti melakukan dosa-dosa kecil dan juga menjauhi
atau sama sekali tidak melakukan perbuatan-perbuatan mubah yang dapat
mengurangi atau bahkan menghilangkan sifat murû’ah seperti, makan sambil
berjalan, buang air kecil bukan pada tempatnya, bergurau berlebihan, dan
lain-lain.[12]
Sedangkan
al-Hâkim (321-405 H) yang hidup sedikit lebih awal dari Khatib al-Baghdadi juga
mempunyai definisi sendiri mengenai siapa orang pantas disebut ‘âdil.
Beliau menuturkan bahwa perawi yang ‘âdil adalah seorang muslim yang
tidak mengajak orang lain untuk melakukan perbuatan bid’ah serta tidak
melakukan semua perbuatan maksiat yang bisa membuat sifat ‘adâlahnya hilang
atau gugur karena perbuatan itu.[13]
Dalam bukunya T.M Hasbi
ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa al-Baghdadi (368-463 H)
berpendapat bahwa ‘âdil dalam terminologi ilmu hadis adalah orang yang
senantiasa menjalankan perbuatan-perbuatan fardhu, tetap menjalankan
perintah dan menjauhi segala yang dilarang seperti perbuatan keji dan zhalim,
serta mencari yang paling benar.[14]
Al-Ghazali (W.505 H) pun
memberikan pendapatnya mengenai apa itu ‘âdil. Beliau berpendapat bahwa
seseorang yang disebut ‘âdil selalu istiqâmah dalam hidupnya baik
dari segi perjalanan hidup ataupun perjalanan kehidupan spiritualnya yakni
kehidupan beragamanya.[15] Dengan kata lain tidak pernah melenceng
baik dalam hal etika dan norma yang berlaku di masyarakat.
Ulama Fiqih terkenal yaitu Abû
Zahrah mengatakan bahwa ‘âdil merupakan sifat dari seseorang yang tidak
diketahui melakukan perbuatan bohong dan selalu mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang wajib serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.[16]
Menurut Ibnu al-San‘ani,
seseorang bisa dianggap ‘âdil apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1.
Selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan
maksiat.
2.
Menjauhi dosa-dosa kecil yang bisa menodai agama
dan bersikap sopan.
3.
Tidak melakukan perbuatan-perbuatan mubah yang
dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan.
Seseorang yang ‘âdil terlihat
dari aspek cara berbicara dan amalan hidupnya yang menggambarkan dirinya
sebagai orang yang senantiasa takut kepada Allah SWT, yaitu takut untuk
menghadapi hari perhitungan di akhirat nanti sehingga takut untuk berdusta, menambah-nambah
kabar berita, dan menyelewengkan fakta yang terjadi.[18]
Fatchurrohman memaparkan
definisi ‘âdil dengan mengutip buku al-Irsyad yang menjelaskan
bahwa ‘âdil adalah memegang teguh kepada pedoman adab-adab syara’ dengan
memenuhi perintah yang berupa kewajiban dan menghindari perbuatan yang
dilarangnya. Adapun adab-adab menurut kebiasaan manusia pada umumnya yang
bersifat situasional maupun kondisional tidak dipakai dalam periwayatan dan
kesaksian, seperti seseorang meninggalkan suatu adat kebiasaan yang berlaku
kemudian dia dicela oleh masyarakat, namun tindakan itu belum tentu dilarang
oleh agama.[19]
Kemudian Rif’at al-Fauzi, di
samping ia mendefinisikan sendiri definisi ‘âdil, ia pun ternyata
menginventarisir definisi-definisi lainnya. Umpamanya, ia mengutip pendapat Ibnu
al-Mubârak. Beliau menyebutkan bahwa menurut Ibnu al-Mubârak (W.215 H),
seseorang dikatakan memiliki predikat ‘âdil apabila
dalam dirinya terkandung lima hal yakni, pengakuan masyarakat, tidak meminum
minuman keras, tidak didapati cacat dalam urusan agamanya, bukan seorang
pembohong dan tidak ada gangguan dalam akalnya.[20]
Menurut Nuruddin Itr ‘adâlah
merupakan suatu watak dan sifat yang sangat kuat yang mampu mengarahkan
orangnya kepada perbuatan takwa, menjauhi perbuatan munkar dan segala sesuatu
yang akan merusak harga dirinya.[21]
Muhammad Zuhri memberikan
definisi bahwa perawi yang ‘âdil adalah periwayat hadis yang setia
mengamalkan ilmu agamanya sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, bukanlah
orang yang pernah berbohong apalagi sering berbohong sehingga dikenal sebagai
pembohong.[22]
Muhammad Ibnu Muhammad Abû
Syuhbah mengatakan dalam kitabnya bahwa ‘adâlah merupakan konsistensi ketaqwaan
yang diwujudkan dalam perilaku atau
sikap. Ketakwaan yang beliau maksudkan menjalankan segala perintah agama dan
menjauhi segala larangannya. Sedangkan perilaku atau sikap adalah karakter
pribadi yang ada pada diri seseorang untuk berperilaku dan mempunyai kebiasaan
yang baik.[23]
Tengku Muhammad Hasby
ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa ‘adl menurut kebanyakan ulama adalah
suatu tenaga jiwa (malakah) yang mendorong kita tetap berlaku taqwa dan memelihara
murû’ah, yakni tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan maksiat, syirik, fâsiq,
dan bid’ah serta senantiasa membersihkan diri dari segala macam-macam
perangai-perangai yang kurang baik seperti buang air besar di tengah jalan.[24]
‘Abd al-Muthalib
mengungkapkan bahwa ‘âdil adalah sifat yang tertanam kuat dalam diri
yang membawa pelakunya pada taqwa dan murû’ah. Yang beliau maksud taqwa
adalah menjauhnya seseorang terhadap perbuatan buruk berupa ke-fâsiq-an
dan kebid’ahan, sedangkan yang dimaksud dengan murû’ah adalah
terpeliharanya manusia dari hal-hal yang tercela secara adat.[25]
Ulama
lain menjelaskan bahwa ‘âdil adalah istiqâmah. Yang dimaksud di
sini adalah hal yang didukung kuat oleh agama dan akal sehingga mampu
mengalahkan syahwat dan nafsu. Oleh karenanya, barang siapa yang banyak
melakukan dosa besar akan gugurlah keadilannya dan sedikit orang yang akan
mempercayai ucapannya. Maka seperti itulah halnya orang yang terus menerus
melakukan dosa kecil, tetapi bagi orang yang tidak terus menerus melakukan dosa
kecil maka sifat ‘âdil-nya tak perlu diragukan.[26]
Pengertian
lain didapatkan dari buku yang sama bahwa barang siapa yang berhubungan dengan
manusia, kemudian ia tidak menzhaliminya, ia pun tidak berdusta kepadanya, dan
ia pun tidak menyalahi janjinya kepada mereka, maka yang demikian itu menunjukkan
telah sempurna murû’ahnya, telah tampak keadilannya, dan telah wajib
berkasih sayang, dan telah haram mengghibahnya.[27]
Sedangkan
menurut al-Syâfi’i, yang dimaksud dengan rawi yang ‘âdil adalah tsiqah
dalam agamanya, dikenal sebagai orang yang benar dalam ucapannya dan tidak
termasuk mudallis.[28]
Paparan
di atas menunjukkan begitu rumit dan beragamnya pendapat ulama mengenai apa itu
‘âdil dalam konteks periwayatan hadis. Bisa dilihat ketika penulis
mencantumkan pendapat ulama dari segi etimologi saja didapatkan tidak hanya
satu pengertian. Namun, bisa didapatkan pasti bahwa banyak ulama sepakat bahwa
secara bahasa kata ‘âdil hampir sama dengan istiqâmah yang
berarti lurus. Namun memang, banyak penafsiran lanjutan yang dilakukan oleh
banyak ulama dalam memberikan definisi tambahan sebagai cara untuk
menyempurnakan pendapatnya.
Dari
segi istilah, penulis juga sepakat bahwa ulama hadis sangat beragam dalam hal
mengartikan apa itu ‘âdil. Penulis percaya di luar ruang lingkup hadis
pun sifat ‘âdil mempunyai definisi sendiri dengan syarat dan hal lain
yang disepakati oleh ulama. Dari segi hadis sendiri bisa dilihat bahwa tidak
penulis dapati pengertian seragam oleh banyak ulama walaupun beberapa ulama
merujuk maksud dan tujuan yang sama.
[1] Ibnu Shalâẖ, ‘Ulûm
al-Hadîts li Ibn al- Shalâẖ, (Riyadh: Dâr Ibn al-Qayyim, 1429H/
2008M), Jilid 4, h. 5
[2] Subhi Shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis. h. 140. Lihat juga: Husain Abdul Wahab, Ilmu Jarẖ wa Ta’dîl sebagai Kriteria dalam Klasifikasi Hadis
dalam Jurnal Media
Akademika, Vo. 26, No.2, April 2011, h.243
[3] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Islam: Studi Tentang Kontribusi Gagasan Iqbal dalam Pembaruan Hukum
Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet.1, h. 9
[7] Muhammad Ajaj
al-Khatib, Ushûl al-Hadis: Pokok-Pokok Ilmu Hadis terj. Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafi,( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. 4, h. 233
[8] Luwis al-Ma’luf, al-Munjid
fî al-Lughat (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1873), h. 491-492. Lihat juga:
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), Cet. 1 h. 113
[9] Jalâl al-Dîn al-Suyuthî, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawâwî,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 214-215. Lihat juga : Abdul Hakim, ‘Adâlah
al- Shaẖâbah Menurut Ahmad Amin. h. 19
[11] Khatib al-Baghdadi, al-Kifâyah fi al-‘Ilmi ar-Riwâyah. h. 48. Lihat juga: Abdul Hakim, ‘Adâlah al- Shaẖâbah
Menurut Ahmad Amin. h. 21-22
[14] Teungku Muhammad
Hasbyi ash-Shiddiqie, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), cet. 4, h. 20. Lihat juga: Tasmin Tangareng, Telaah Historis
Terhadap Keadilan Sahabat. h. 448
[18] Yusuf Qardhawi, al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyah(Qahirah:
Maktabah Wahbah, 1991), h. 85. Lihat juga: Mohd. Fauzi Hamat, Syarat ‘Adâlah
al-Rawi Dalam Kaedah Penerimaan Hadis dan Kepentingannya Dalam Pembinaan Ummah
Berfikiran Hadis, dalam al-Bayan Journal of Alqur’an dan al-Hadis, (Selangor: University of Malaya, 2003), h. 178
[23] Muhammad Ibn
Muhammad Abû Syuhbah, al-Wasith fi ‘Ulûm wa Musthalâh al-Hadis, (Kairo:
Dâr al-Ma’rifah, t.th), h. 85
[25] Rif’at Fawzi ‘Abd
al-Muthallib, Tawtsiq al-Sunnah fi al-Qarn al-Tsâni al-Hijri, (Kairo:
Maktabah al-Khanaji, 1981), h.128
[26] ‘Abd al-Mahdi bin ‘Abd al-Qadir bin ‘Abd al-Hadi, ‘Ilm al-Jarẖ al-Ta’dîl
Qawa’iduh wa A’immatuh, (Mesir: Jamiat al-Azhar, 1998), cet. ke-2, h.26
Komentar