HAL-HAL YANG DAPAT MENURUNKAN SIFAT 'ADALAH DALAM PERIWAYATAN HADITS


Adapun hal-hal yang dapat mempengaruhi dan menurunkan nilai ‘adâlah seorang perawi hadis adalah sebagai berikut:
1.      Dusta
            Yang dimaksud dengan dusta adalah bahwa orang tersebut sudah pernah memalsukan hadis. Jika seseorang pernah memalsukan suatu hadis walaupun satu kali saja maka periwayatannya tidak akan diterima walaupun sudah bertobat. Adapun ketika seseorang pernah menjadi saksi palsu maka bila bertobat diterima riwayatnya. Menetapkan kepalsuan hadis didasarkan kepada persangkaan yang kuat bukan berdasarkan keyakinan, karena orang-orang yang pernah berdusta di waktu yang lain, mungkin meriwayatkan dengan benar di waktu-waktu yang lain. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh diterima hadis dari orang yang berbuat dusta kepada Rasulullah SAW, sebagaimana mereka bersepakat bahwa itu merupakan dosa besar. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang kekafiran dan penerimaan taubat mereka. Menurut pendapat Ahmad dan Abû Bakar al-Humaidi salah seorang guru Bukhari, bahwa orang tersebut tidak diterima riwayatnya sekali-kali walaupun sudah bertobat. Berbeda halnya menurut al-Nawawi yang mensyahkan taubat nya dan menerima riwayatnya, dengan menyamakan keadaannya seperti seorang kafir yang masuk Islam. Sedangkan Abû Mudhoffar al-Sam’ani berpendapat, bahwa orang tersebut harus ditolak seluruh hadisnya.[1]
2.      Tertuduh dusta
            Yang dimaksud dengan tertuduh dusta adalah apabila seseorang yang terkenal sebagai pendusta dalam kesehariannya dan kedustaannya telah dikenal oleh banyak kalangan. Siapa pun yang masuk dalam kategori seperti ini, maka periwayatannya tidak dapat dipercaya.[2]
            Diantara istilah hadis yang disebabkan karena tertuduh dusta adalah hadis matruk. Hadis ini adalah hadis yang dalam susunan sanadnya ada rawinya yang dikatakan oleh ulama sebagai perawi yang tertuduh dusta, baik salah satu rawi ataupun banyak.[3]
3.      Fâsiq
            Fâsiq terbagi kepada dua bagian. Bagian yang pertama adalah fâsiq yang menyebabkan kepada kemusyrikan. Seperti yang disebutkan dalam Alqur’an surat al-An’am ayat 145:
“yaitu yang menyembelih hewan dengan menyebut selain Allah SWT”       Bagian kedua adalah fâsiq yang tidak menyebabkan pada kemusyrikan, seperti minum anggur, ada yang membolehkan dan ada juga yang melarang.
4.      Bid’ah
            Bid’ah terbagi kepada dua bagian. Bagian yang pertama adalah bid’ah yang tercela yaitu bid’ah yang menyalahi Alqur’an, sunnah, ijma’. Bagian yang kedua adalah bid’ah yang tidak tercela, seperti pernyataan ‘Umar tentang salat jamaah tarawih di bulan Ramadhan.[4]
5.      Al-Jahalah
            Al-Jahalah merupakan lawan dari kata populer. Maksudnya adalah seorang perawi hadis yang tidak dikenal di kalangan para ulama dalam lawatan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu,[5] atau tidak diketahui jati dirinya dan sifat-sifatnya. Al-Jahalah terbagi ke dalam dua macam yaitu, majhul al-‘ain dan majhul al-ahwâl.
            Majhul al-‘Ain adalah seorang perawi yang tercatat namanya namun hanya satu orang saja yang meriwayatkan darinya. Majhul al-ahwâl adalah seorang perawi yang hanya dua atau lebih perawi yang meriwayatkan darinya dan perawi tersebut tidak di-tsiqah-kan oleh ulama hadis.[6]


[1] Hasbi al-Shiddiqeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. h. 206-207
[2] al-A’zhami, Dirasat di al-Jarẖ Wa al-Ta’dîl. h. 108
[3] Mahmûd Thahan, Taisîr Musthalâh al-Hadis, (Iskandariyyah: Markaz al-‘Adili al-Dirâsat, 1415 H), h.70
[4] al-A’zhami, Dirasat di al-Jarẖ Wa al-Ta’dîl. h. 108-110
[5] al-A’zhami, Dirasat di al-Jarẖ Wa al-Ta’dîl. h. 108-110
[6] Mahmûd Thahan, Taisir Musthalâh al-Hadis. h. 92-93

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Lubabul Hadits (Matan Tanqihul Qaul) Bahasa Sunda (Pembukaan)

Makalah Objek Kajian Filsafat

Syair-syair-an (لو لا مربى ما عرفت ربى)