SHAHABAT DALAM PERIWAYATAN HADITS (DEFINISI, CARA MENGETAHUI, DAN STRATIFIKASI (TINGKATAN) SHAHABAT)
Pemaparan definisi sahabat di
sini sangat penting, karena para pengarang yang menulis tentang sahabat jarang
peduli untuk bertanya kepada diri mereka sendiri mengenai siapa sebenarnya
sahabat itu. Sebagai contoh seperti Joseph Schacht dan Fazlur Rahman. Dalam
satu dan lain hal, terutama ketika berbicara tentang hadis, mereka menyebut
sahabat tanpa pernah menjelaskan apa yang mereka maksud dengan kata sahabat
ini. Mereka beranggapan bahwa sahabat itu sudah sedemikian terkenal sehingga
tidak perlu lagi didefinisikan lebih jauh. Cara pandang seperti ini adalah hal
yang menyesatkan, karena mendefinisikan sahabat tidak semudah yang mungkin
dibayangkan orang.[1]
secara etimologis sahabat
diambil dari bahasa arab yang berasal dari kata shâẖib (صاحب) bentuk jamaknya shuẖub (صحب), ashẖâb (اصحاب), shaẖab (صحب) dan shaẖâbah (صحابة) yang mempunyai arti dalam bahasa adalah orang yang selalu menyertai
dan bersama orang lain. Kata shâẖib hanya diberikan kepada orang-orang yang bergaul
lama dengan orang lain.[2]
Namun, beberapa ulama dalam
bukunya juga menjelaskan, bahwa arti kata sahabat secara etimologis tidak
mengandung pengertian persahabatan dalam ukuran tertentu, tetapi berlaku untuk
orang yang menyertai orang lain, sedikit ataupun banyak. Sama halnya seperti
kata “mukallim”, “mukhathib”, dan “dharib” yang berasal
dari kata asal “mukallamah” (pembicaraan), “mukhathabah”
(ceramah), dan “dharb” (pukulan) yang berlaku untuk siapa saja yang
melakukan hal-hal itu, sedikit atau banyak. Dengan
begitu, maka kata-kata bentukan lain pun bermakna serupa.[3]
Dengan demikian dikatakan pula bahwa seseorang bersahabat dengan
Fulan sepanjang masa, satu tahun, satu bulan, satu hari dan satu jam. Sehingga
persahabatan digunakan untuk menyatakan kegiatan itu, baik terjadi dalam
frekuensi minimal maupun maksimal.[4]
Dalam beberapa kamus bahasa Arab lain, disebutkan bahwa
kata shaẖâba berarti al-hifzh yang berarti menjaga atau
melindungi. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Anbiya
ayat 43.[5]
Dalam bahasa Indonesia sendiri kata sahabat punya arti
yang berdekatan dalam pengertian secara bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “sahabat” diterjemahkan dengan kata kawan, teman, dan handai.[6]
Allah SWT juga menggunakan
istilah shaẖaba untuk menunjukan adanya hubungan personal yang bermakna al-suẖba. Dalam Alqur’an kata ini dipakai untuk menunjukan
hubungan antara seorang mu’min, antara anak dan orang tuanya yang berbeda
keyakinan, antara teman sejawat, antara pengikut dan yang diikuti, antara
mu’min dan kafir, antara Nabi dan kaumnya meskipun kafir, dan antara orang
kafir dan kelompoknya. Namun kata ini juga bisa bermakna tempat tinggal,
seperti ketika Alqur’an memakai kata shaẖaba untuk menunjukan tempat
tinggal yang ditempati oleh golongan manusia tertentu, misalnya asẖâb
al-jannah, ashẖâb al-nâr, ashẖâb al-kahf, ashẖâb al-qaryah, ashẖâb madya, ashẖâb
al-aykah, dan yang lainnya.[7]
Selain dipakai dalam Alqur’an,
istilah shaẖaba juga digunakan oleh Nabi dalam komunikasinya dengan
masyarakat. Seperti ketika ‘Umar bin al-Khattab meminta Nabi untuk membunuh
‘Abd Allah bin Ubay bin Salul. Menanggapi permintaan tersebut, lantas Nabi
bersabda, Fa kayf yâ ‘Umar idzâ taẖaddats al-nâs Anna Muẖammad yaqtul asẖab (Wahai
‘Umar! Bagaimana pembicaraan orang-orang kalau Muhammad membunuh sahabatnya
sendiri).[8] Rasulullah juga memakai kata shaẖaba ketika
menyebut orang-orang di sekitarnya yang tidak terang-terangan menunjukan
kemunafikannya, beliau bersabda, Inna fi ashẖâbî munâfiqîn (sesungguhnya
sebagian sahabatku ada orang-orang kafir).[9]
Sama halnya dengan pengertian
menurut bahasa yang mempunyai beberapa pandangan, pengertian
shaẖâbah secara istilah juga begitu beragam. Hal ini juga terjadi, bahkan dikalangan ahlu sunnah
sendiri. Namun beberapa mengemukakan penjelasan bahwa shaẖâbah adalah
orang yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dengan syarat orang tersebut mukmin
dan hidup bersama beliau, baik lama atau sebentar, orang tersebut meriwayatkan
hadis beliau atau pernah berperang bersama beliau atau tidak. Demikian juga
orang yang pernah melihat beliau walaupun hanya sekali, atau orang yang tidak
pernah melihat beliau karena buta.[10]
Karena begitu beragamnya
pendapat para ulama tentang pengertian sahabat diperlukan data yang
sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengertian yang cukup
ideal penulis akan memaparkan pendapat-pendapat para ulama mengenai pengertian
sahabat secara istilah.
Said al-Musayyab (634-713 M) mengatakan, bahwa yang
dikatakan shaẖâbah adalah seseorang yang hidup bersama Rasulullah Saw
selama satu atau dua tahun dan pernah berperang bersama beliau sekali atau dua
kali.[11]
Namun, pendapat ini dibantah oleh Ibn Jauzi (508-597 H) yang
mengatakan, bahwa umumnya para ulama mengemukakan pendapat yang berbeda dengan
yang dikatakan oleh Ibn al-Musayyab. Sebab mereka menganggap Jarir bin Abdullah
al-Bajali sebagai sahabat, padahal beliau baru masuk Islam pada tahun sepuluh
hijriah. Para ulama juga memasukan seseorang ke dalam kategori sahabat walaupun
belum pernah turut berperang bersama Nabi, juga orang yang masih kecil ketika
rasulullah wafat sehingga belum pernah bermujasalah dan belum pernah
berjalan bersama beliau. Walaupun begitu, para ulama tetap
memasukkannya ke dalam kelompok sahabat, meski hakikat persahabatannya dengan Nabi
tidak pernah terjadi.[12]
Ahmad bin Hanbal (W. 241 H)
berpendapat bahwa Ahl al-Badr (orang yang ikut menyertai Nabi dalam
perang badar) termasuk dalam kategori shaẖâbah dan manusia yang paling
utama setelah Ahl al-Badr adalah generasi yang menyaksikan Nabi diutus
ke tengah-tengah mereka, maka setiap orang yang hidup bersama Rasulullah SAW
dan pernah menyertainya selama sebulan atau sehari, atau sesaat, atau hanya
melihatnya saja, mereka merupakan sahabat Nabi.[13]
Al-Jurjani mengutarakan bahwa shaẖâbah adalah
orang yang pernah melihat Rasulullah SAW lama atau sebentar bersama Rasulullah
SAW sekalipun tidak meriwayatkan hadis dari beliau.[14]
Ibn al-Shalâẖ (577-643 H) dalam kitabnya mengatakan, kami mendengar dari Abû
al-Mudhaffar al-Sam’ani al-Mawardzi yang mengatakan bahwa para pakar hadis
menyebut term sahabat untuk orang yang meriwayatkan dari Nabi satu hadis atau
satu kata. Lalu mereka melonggarkan pengertian itu, sehingga mereka menganggap
orang yang pernah melihat sekali saja kepada Nabi sebagai sahabat. Ini tidak
lain karena kemuliaan status Nabi sehingga mereka memberikan status sahabat
kepada siapa saja yang pernah melihat beliau.[15]
Ada juga ulama-ulama yang
mendefinisikan bahwa orang yang bertemu Nabi dan mengimaninya walaupun hanya
sesaat adalah seorang sahabat. Artinya, seseorang yang terkategori sahabat
tidak harus bergaul dan tinggal bersama Nabi secara terus menerus, tetapi cukup
bergaul sesaat dan sekedar melihat. Pendapat ini didukung oleh Imam Bukhari (W.
256 H), menurut beliau di antara kaum muslimin yang pernah menyertai Nabi atau
pernah melihatnya, maka ia termasuk sahabat.[16]
Jumhur muhadditsin mengatakan
bahwa yang disebut sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah SAW
dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup dalam keadaan Islam dan
iman.[17]
Syeikh Nawâwi al-Jâwî
berpendapat bahwa orang yang dinyatakan sebagai sahabat Nabi itu adalah setiap
mu’min yang berkumpul dengan Nabi setelah beliau diangkat menjadi rasul,
meskipun belum ada perintah untuk berdakwah, yakni dengan pertemuan yang saling
mengenal walaupun dalam keadaan gelap, buta, balig, bahkan hanya sekedar
bertemu atau melihat atau dilihat Nabi kendatipun dengan jarak jauh, hal ini
tetap dinyatakan sebagian sahabat Nabi.[18]
Ibnu Hazm menuturkan bahwa
yang disebut sahabat adalah setiap orang yang pernah bersama-sama dengan Nabi
dalam satu majelis walaupun sesaat dan dapat mendengar pembicaraan Nabi
walaupun sekalimat atau dapat melihat sesuatu yang dapat memahaminya dari Nabi,
sedangkan dia bukan dari kalangan munafik dan dikenal sebaga orang munafik
sehingga ia mati dalam keadaan munafik dan bukan pula Orang yang diusir dari
Madinah karena layak diusir seperti, Hait al-Mukhannas dan orang yang dipandang
sama dengan dia. Maka setiap orang yang kami sifatkan di atas dapat dipandang
sebagai sahabat, mereka semua harus dipandang ‘âdîl lagi utama dan
menjadi panutan (ikutan), wajib atas kita memuliakan mereka, memohon ampun dan
mengasihi mereka.[19]
Dari setiap definisi yang
ditemui hampir semua mensyaratkan harus bertemu dengan Nabi jika ingin disebut
sebagai sahabat. Penggunaan kata “bertemu” di sini maksudnya adalah bergaul,
lebih tepat daripada menggunakan kata “melihat” pada ta’rif jumhur tersebut,
yang demikian agar orang yang tidak dapat melihat Rasulullah SAW dengan mata
kepala, lantaran buta, tetapi selalu bergaul dengan beliau seperti Ibnu Ummi
Maktum, dapat dimasukkan ke dalam golongan sahabat. Kendatipun orang yang
bertemu Nabi tersebut tidak pernah meriwayatkan sebuah hadis atau tidak lama
pergaulannya dengan beliau. Pendapat Jumhur ini berlawanan dengan pendapat
Jahid ulama dari kalangan Mu’tazilah yang mensyaratkan harus lama bergaul dan
pernah meriwayatkan hadis. Sebab tujuan pokok bergaul dengan Rasulullah SAW itu
tidak lain kecuali untuk meyampaikan hukum-hukum kepada masyarakat.[20]
Menurut Anas bin Malik (W.
93H), bahwa melihat Nabi dari jarak yang jauh tidaklah dapat dijadikan ukuran
sebagai seorang sahabat. Ahmad Muhammad Syakir mengemukakan bahwa Syu’bah
menerima riwayat dari Musa as-Sablani yang mengatakan bahwa dirinya bertanya
kepada Anas bin Malik perihal apakah masih ada yang hidup dari sahabat selain beliau, maka Anas bin Malik menjawab
bahwa masih ada orang-orang Arab Badui yang pernah melihat Rasulullah SAW, akan
tetapi orang yang menyertai Rasulullah SAW sudah tidak ada lagi. Dari riwayat
ini dapat diketahui definisi Anas bin Malik mengenai sahabat haruslah orang
yang tidak hanya melihat saja, namun harus pernah menyertai beliau.[21]
Menurut al-Waqidi para ahli
ilmu menyatakan, bahwa setiap orang yang melihat Rasulullah SAW sedang dia
sudah mencapai umur dan beragama Islam serta memahami urusan agama dan
menerimanya dengan puas, maka dapat dikatakan sebagai sahabat Nabi, walaupun ia
menyertai Nabi hanya satu hari.[22] Jelas sekali terlihat pandangan ini
ditekankan pada batasan umur yakni mensyaratkan baligh sebagai salah satu
acuan. Dengan demikian, maka orang yang sezaman dan bertemu dengan beliau,
namun ketika itu masih belum baligh, walaupun meriwayatkan hadis dari beliau
maka seperti Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar, Ibn Zubair, al-Husain, dan lain-lain tidak
dapat dikatakan sebagai sahabat beliau. Oleh karena itu, al-Iraqy mengatakan
pembatasan balig tampaknya adalah sesuatu yang janggal.[23]
Abû Bakar al-Baqilani
menggunakan pendekatan bahasa mengemukakan satu contoh misalnya dikatakan saya
menyertai si fulan selama setahun, sebulan, sehari, dan sejam. Dari pendekatan
bahasa, hal ini bisa dikatakan sebagai suatu persahabatan. Karena, menurut
bahasa wajib dikatakan sahabat bagi orang-orang yang menyertai Rasulullah SAW
walaupun hanya satu jam. Para imam mempunyai istilah lain yaitu tidak
menggunakan istilah sahabat kecuali terhadap orang-orang yang banyak
persahabatannya dan banyak menjumpainya. Oleh karena itu, menurut pengertian
ini seseorang yang hanya bertemu sebentai, berjalan bersama-sama sebentar, dan
mendengar sebuah hadis tidak akan disebut sebagai sahabat. Sebutan sahabat
hanya akan dilekatkan pada orang yang demikanlah adanya.[24]
Namun demikian, khabar yang
dibawa oleh orang yang tsiqat dapat diterima dan diamalkan, meski
kebersamaan yang dilakukannya tidaklah lama, dan tidak mendengar dari
Rasulullah SAW kecuali satu hadis saja. Oleh karena itu, pernyataan Anas bin
Malik tidak menyimpang dari pengertian yang umum di masyarakat. Dan yang tak
diragukan lagi adalah para sahabat itu mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu,
tergantung pada siapa yang lebih dahulu masuk Islam.[25]
Sedangkan menurut ulama ushul
fiqh atau sebagian dari mereka, sahabat adalah orang yang lama bermujasalah
dengan Rasulullah SAW secara terus menerus dan menerima hadis dari beliau.[26] Maka, menurut Ajaj al-Khatib pendapat
Anas bin Malik dan Sa’id al-Musayyab dekat dengan pendapat ulama ushul fiqh.[27]
Maka dari uraian singkat di
atas, diambil kesimpulan bahwa pengertian sahabat yang dapat diterima oleh
semua pihak adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi, beriman kepada beliau
dan meninggal dalam keadaan Islam.[28]
Namun, orang yang bertemu
dengan Nabi tetapi tidak beriman terhadap kerasulanyya, tidak dinamakan
sahabat. Dan walaupun beriman pada kerasulannya tapi mati dalam keadaan kafir
juga tidak bisa disebut sahabat seperti halnya ‘Abd Allah bin Jahsyi suami dari
Ummi Habibah yang ikut serta dalam hijrah ke Habsyi, karena ia masuk Nasrani
dan mati dalam keadaan kafir, atau seperti ‘Abd Allah bin Khalaf dan Babi’ah
bin Umayyah bin Khalaf,, keduanya meninggal dalam kekufurannya sehingga mereka
berdua tidak dapat disebut sebagai sahabat Nabi karena mereka murtad.[29]
Begitu juga orang yang bertemu
dengan Nabi tapi masih dalam keadaan kafir, dan baru masuk Islam setelah beliau
wafat, tidak bisa disebut sahabat. Adapun orang yang masuk Islam pada zaman Nabi
masih hidup akan tetapi belum pernah bertemu dengan Nabi, maka mereka dinamakan
Muhadram.[30]
Sahabat bisa diketahui dengan satu diantara indikasi berikut[31]:
1. Khabar Mutawattir, seperti Abû
Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat-sahabat lain yang mendapat jaminan surga
secara tegas.
2. Khabar masyhur atau mustafidh,
yang berada di bawah status mutawattir, seperti ‘Akasyah bin Muhshan, dan
Dhammam bin Tsa’labah.
3. Salah seorang sahabat
memberikan khabar bahwa seseorang berstatus sahabat. Misalnya, Hamamah bin Abû
Hamamah ad-Dausi yang meninggal di Ashbahan karena sakit perut, lalu Abû Musa
al-Asy’ari memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari Nabi SAW.
4. Seseorang mengkhabarkan diri
sebagai sahabat setelah diakui keadilan dan kesezamanannya dengan Nabi SAW.[32]
5. Seorang tabi’in mengkhabarkan
bahwa seseorang berstatus sebagai sahabat. Ini didasarkan pada diterimanya tazkiyah dari satu orang. Dan inilah
yang kuat.[33]
Sebenarnya bisa saja memadukan yang ketiga dan yang kelima, yaitu
berdasarkan khabar dari orang yang bisa diterima kesaksiannya. Kesahabatan
merupakan status yang tidak bisa dimiliki seseorang kecuali ada dalil atau
saksi yang memenuhi syarat, maka barulah seseorang bisa mendapatkan status sahabat.
Para ulama telah menyusun kriteria tentang tingkatan-tingkatan sahabat.
Hal ini dikarenakan penyebaran Islam tidak secara instan, akan tetapi
membutuhkan proses panjang. Banyak hal dijadikan dasar menetapkan tingkatan
tertinggi sampai terendah. Ajjaj al-Khatib mengatakan para penulis buku tentang
sahabat berbeda-beda dalam menyebut tingkat-tingkat sahabat. Ibnu Sa’ad
contohnya mengelompokan mereka dalam lima tingkatan. al-Hâkim menjadikan mereka
ke dalam dua belas tingkatan yang berbeda. Sedangkan sebagian ulama menjadikan
mereka lebih dari itu.[34]
Akan tetapi, yang terpopuler adalah yang dikemukakan oleh al-Hâkim[35]
yaitu:
1.
Mereka yang pertama masuk Islam. Seperti sepuluh orang sahabat yang
dikabarkan akan masuk surga, yakni keempat khalifah pertama Islam, Sa’ad bin
Abi Waqas, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, ‘Abd
al-Rahman bin ‘Auf, Abû Ubaidah Amir bin Jarrah, Siti Khadijah, dan Bilal bin
Rabah.
2.
Mereka yang masuk Islam sebelum musyawarah ahli Makkah di Dâr
al-Nadwah.
3.
Mereka yang berhijrah ke negeri Habasyah, seperti Jafar bin Abi Thalib,
Ruqayyah Sahlah binti Sahl, dan lain-lain.
4.
Mereka yang mengikuti al-‘Aqabah al-Ulâ, seperti Jabir bin ‘Abd
al-Allah, Uqbah bin ‘Amir, As’ad bin Zurarah, dan ‘Ubadah bin al-Shamit.
5.
Mereka yang mengikuti al-‘Aqabah al-Tsaniyah, yang mayoritas kaum
Anshar seperti Barra bin Ma’rur, Sa’ad bin ‘Ubadah, dan Ka’ab bin Malik, dan
lain-lain.
6.
Kaum Muhajirin yang mula-mula bertemu dengan Nabi Muhammad SAW di Quba
sebelum beliau memasuki Madinah.
7.
Orang-orang yang terlibat perang Badar.
8.
Mereka yang berhijrah di antara Badar dan Hudaibiah.
9.
Para peserta Bai’at al-Ridwan di Hudaibiah
10. Mereka yang berhijrah antara
Hudaibiah dan Fath al-Makkah, seperti Khalid bin Walid, Ibn al-‘Ash, dan Abû
Hurairah.
11. Orang-orang yang masuk Islam
saat Fath al-Makkah, seperti Muawiyyah bin Harb dan Hakîm bin Hizam.
12. Anak-anak yang menyaksikan Nabi
Muhammad SAW saat Fath al-Makkah, dan Haji Wada, seperti Hasan bin ‘Ali dan
Husain bin ‘Ali, al-Sa’ib bin Yazid al-Kalabi, dan ‘Abd Allah al-Zubair.
Ulama-ulama dari kalangan ahl al-sunnah sepakat bahwa urutan sahabat
yang paling utama dimulai dari khalifah pertama yaitu Abû Bakar, kemudian
‘Umar. Tidak ada dari kalangan sahabat atau tabi’in yang berselisih pendapat
mengenai keutamaan mereka atas sahabat-sahabat yang lain. Setelah beliau berdua
kedudukan selanjutnya adalah ‘Utsman bin Affan, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib.
Dalam masalah ini ada sedikit perbedaan. Diceritakan oleh al-Khaththabi bahwa
orang-orang kuffah lebih mendahulukan ‘Ali atas ‘Utsman. Dan inilah yang
diikuti oleh Ibnu Khuzaimah. Selanjutnya, sahabat-sahabat lain yang masuk dalam
kelompok sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga secara tegas,
kemudian Ahli Badar, kemudian Ahli Uhud, kemudian para peserta Ba’iah al-Ridwan
dan kaum Anshar yang memiliki keistimewaan dengan pernah mengikuti dua ‘aqabah,
al-Sabiqun al-Awwalun, yaitu mereka yang pernah melakukan salat menghadap dua
kiblat menurut Ibn al-Musayyab, Muhammad Ibn Sirin dan Qatadah, dan menurut
pendapa al-Syabi peserta Ba’iah al-Ridwan, serta menurut pendapat Muhammab bin
Ka’ab dan Atha bin Yassar adalah ahli Badar. Ada juga yang mengatakan bahwa
mereka itu adalah orang-orang yang masuk Islam sebelum Fath al-Makkah. Ini
merupakan pendapat Hasan al-Bashri.[36]
[2]Agus Efendi, Sahabat. h. 48. Lihat juga:
Abdul Hakim, ‘Adâlah al- Shaẖâbah Menurut Ahmad Amin. h. 29
[4] al-Ma’ruf, Lisân
al-Arab. h. 7, juz 2. Lihat juga: Muhammad Ajaj
al-Khatib, Ushul al-Hadis. h. 377
[5] Al-Hasan bin ‘Abd al-Allah bin Sahl bin Sa’id bin Yahya bin Mihran
al-‘Iskari, Mu’jam al-Faruq al-Lughawiyah, (Iran: Muassasah al-Nashr
al-Islami, 1412), h. 308. Lihat juga: ‘Ali bin Isma’il bin Sayyidih al-Mursi, al-Muhkam
wa al-Muhith al-A’zham, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000), h. 167. Lihat juga:
Amir Mahmud, ‘Adalat al-Sahabah Dalam Perspektif Sunni dan Syi’ah dalam Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, (Pasuruan: Universitas
Yudarta, 2014), V. 4, h. 331
[6] Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1242. Lihat juga: Amir Mahmud, ‘Adalat
la-Sahabah Dalam Perspektif Sunni dan Syi’ah. h. 331
[8] Abû al-Fida
Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, al-Sirah al-Nabawiyah, (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1979), V. 2, h. 199
[9] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Aẖmad bin Hanbal, (t.tp:
Muassasah al-Risâlah, 2001), h.291
[11] Ahmad Muhammad Syakir, al-Baits al-Hasis Syarah Ikhtisar al-Hadis, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996 M), h. 125-126
[12] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis. h. 378
[13] Izzud Ibn al-Asit Abi al-Hasan ‘Ali Muhammad, Usud al-Gabah fi
Ma’rifat as-Shaẖâbah, (Mesir: Kitab asy-Sya’ab, t.th), h. 19. Lihat juga: Khatib al-Baghdadi, Kifâyah
fi ‘Ilm al-Riwâyah. h. 51
[15] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis. h. 378. Lihat juga: Ibn Shalah, ‘Ulûm al-Hadis. h. 118
[18] Abî ‘Abd al-Mu’ti
Muhammad Nawâwî al-Jâwî, Kitâb Syarh Kâsyifât asy-Syajâ, (Pekalongan:
Maktabah wa Mathba’ah, t.th), h. 4
[22] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushûl al-Hadis. h. 378. Lihat
juga: Jamaluddin Ibn al-Jauzi, Talqih Fuhum al-Atsar, (Mesir: Dâr
al-Kutub, t.th), h. 27
[23] ‘Abd al-Rahîm
al-‘Iraqi, Fath al-Mughits bi Syarh al-Fiyah al-Hadis, (Kairo: t.tp,
1937 H), h. 32. Lihat juga: Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul
al-Hadis. h. 378
[29] Ibn Hajar al-Atsqalani, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shaẖâbah. h. 8.
Lihat juga: Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis. h. 84
[35] Abû ‘Abd Allah
Muhammad bin ‘Abd al-Allah al-Naisabûry, Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadis,
(Madînah: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1997), h. 22-24
[36] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis. h. 381. Lihat juga: Jalâl al-Dîn al-Suyuthî, Tadrib al-Râwi fi Syarh Taqrib al-Nawâwi.
h. 409
Komentar