SYARAT-SYARAT KEADILAN PERAWI HADITS


Pada dasarnya mayoritas ulama merujuk pada sifat taqwa dan menjaga murû’ah ketika memberikan syarat siapa orang yang pantas disebut sebagai orang yang ‘âdil. Hanya saja mungkin beberapa ulama berbeda dalam cara menyampaikan maksud dan tujuannya. Ini terlihat ketika banyak ulama memberikan syarat yang berbeda dalam menentukan seseorang pantas diberi predikat sebagai orang yang ‘âdil dalam hal periwayatan hadis. Seperti halnya al-Hâkim memberikan tiga syarat seseorang dapat dikatakan ‘âdil yaitu harus beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat.[1] Sedangkan Ahmad Muhammad Syakir memberikan enam syarat yang harus dimiliki seseorang yang pantas dikatakan sebagai orang yang ‘âdil yaitu beragama Islam, sudah baligh, berakal, memelihara murû’ah, tidak berbuat fâsiq dan dapat dipercaya beritanya.[2]
            Nuruddin ‘Itr Memberikan 5 syarat yang wajib dipenuhi seseorang yang mempunyai sifat ‘âdil yaitu beragama Islam, sudah baligh, berakal sehat, bertakwa pada Allah SWT, dan berperilaku yang sejalan dengan murû’ah serta meninggalkan hal-hal yang mungkin merusaknya, yakni meninggalkan segala sesuatu yang bisa menjatuhkan harga diri manusia menurut tradisi masyarakat yang benar seperti mencaci-maki atau menghina orang lain.[3]
            Sedangkan al-Jurjani memberikan empat syarat saja pada seseorang yang bisa disebut sebagai orang yang ‘âdil yaitu harus memelihara murû’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil, dan biasanya benar.[4] Bahkan T.M Hasby al-Shiddiqie hanya memberikan dua syarat saja untuk seseorang yang bisa dikatakan ‘âdil yaitu berlaku taqwa dan memelihara ‘âdil.[5]
            Perbedaan-perbedaan mengenai syarat ini bahkan dijelaskan oleh Syuhudi Ismail dalam bentuk tabel yang lebih memudahkan pembaca untuk memahaminya.  Syuhudi Ismail mengumpulkan lima belas pendapat berbeda dari lima belas orang ulama tentang syarat-syarat seseorang dapat dikatakan ‘âdil. Kesimpulan yang didapat oleh beliau adalah tidak ditemukannya kesamaan secara utuh di antara lima belas pendapat tersebut. Dalam penjelasannya beliau mengatakan bahwa hanya Nuruddin ‘Itr yang menyebutkan syarat terbanyak yaitu tujuh syarat. Sedangkan al-Hâkim merupakan satu-satunya ulama yang memberikan syarat paling sedikit yakni tiga butir. Sedangkan rata-rata ulama hanya menyebutkan kurang dari tujuh syarat dan rata-rata pada umumnya ulama-ulama hanya menyebutkan empat sampai lima syarat saja yang diajukan.[6]
            Bisa dimengerti perbedaan-perbedaan itu dilandasi karena berbeda zaman dan keadaan kondisi umat pada saat itu. Sebagai contoh ketika para sahabat menerima hadis dari sahabat lain maka syarat yang diajukan mungkin tidak akan sama seperti seorang tabiin yang menerima riwayat dari tabiin lain. Syarat-syarat yang diajukan bisa longgar bisa juga sempit tergantung dari kebijaksanaan para ulama dalam menentukannya. Bahkan karena sikap hati-hatinya para ulama merinci kembali syarat yang diajukan oleh ulama sebelumnya. Seperti halnya ‘âdil dan dhâbith menjadi hal yang berbeda pada zaman sekarang.
            Dilihat dari definisi serta syarat yang diajukan oleh para ulama, maka mayoritas ulama merujuk pada empat syarat umum yang harus dimiliki oleh rawi yang ‘âdil. Keempat syarat tersebut adalah harus beragama Islam, orang yang mukalaf yakni sudah baligh dan berakal sehat, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara murû’ah. [7]
            Agar lebih jelas penulis akan merinci kembali empat syarat umum yang harus dimiliki oleh seorang perawi yang ‘âdil berikut dengan penjelasannya. Keempat syarat tersebut adalah:
1.      Beragama Islam
Hal pertama yang harus dipenuhi oleh perawi yang ‘âdil adalah harus beragama Islam. Syarat ini dibutuhkan periwayat ketika menyampaikan riwayat sebuah hadis bukan ketika menerima sebuah hadis.[8] Para ulama berbeda pendapat mengenai dalil yang digunakan sebagai dasar alasan mengapa seseorang yang ingin meriwayatkan hadis harus beragama Islam. Namun, sebagian ulama berlandaskan pada Q.S al-Hujurat ayat ke enam.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”[9]
Ayat di atas bermaksud memerintahkan kita untuk menyelidiki terlebih dahulu berita yang dibawa oleh orang fâsiq. Dengan menunjuk ayat tersebut, kebanyakan ulama berpendapat, orang fâsiq saja tidak dapat diterima periwayatan hadisnya apalagi, apalagi orang kafir.[10]
Berbeda dengan ulama di atas, ulama lain menjadikan Q.S al-Baqarah ayat 282 sebagai dasar acuan menjadikan Islam sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang ‘âdil.
مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ
”saksi-saksi yang kamu ridhai.”
Kata ridha dalam ayat ini, tidak dapat diwujudkan kecuali dengan agama Islam, karena orang kafir identik dengan khianat. Dan Islam tidak dapat menerima sifat khianat, walaupun orang kafir tersebut memiliki sifat jujur dan amanah.[11]
Bahkan sebagian ulama memakai argumen aksioma (al-Badihiy). Yaitu, mereka menyatakan bahwa hadis itu berkenaan dengan sumber agama Islam. Non muslim tidak dapat diterima beritanya tentang ajaran Islam. Hanya yang beragama Islamlah yang dapat diterima beritanya berkenaan dengan ajaran Islam.[12]
Maka, menurut Syuhudi Ismail argumen-argumen yang dipakai sebagai dasar menjadikan Islam sebagai syarat tidaklah berasal dari dalil naqli yang sharih, tetapi berasal dari pemahaman ayat dan dalil logika. Walaupun argumen-argumen tersebut berbeda-beda, tetapi semua argumen itu saling memperkuat.[13]
2.      Mukallaf
Mukallaf adalah perpaduan antara baligh dan berakal sehat. Dengan kata lain, anak kecil dan orang gila tidak dapat diterima periwayatan hadisnya karena mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Seorang anak kecil yang belum baligh kadang kala sengaja berbuat bohong atau sembarangan, sedangkan orang gila bahkan lebih dari itu, karena pada dasarnya ia sama sekali tidak memiliki faktor ke dhâbith an seperti itu.[14]
Argumen yang mendasari unsur berstatus mukalaf ini tidak ada yang berupa dalil naqli yang sharih, dalam arti khusus untuk syarat periwayatan hadis. Ulama dalam hal ini menggunakan dalil naqli yang sifatnya umum.[15] Sebagaimana dalam hadis dikatakan:
“terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah”[16]
Terlepas dari dalil di atas, dalam hal  ini dapat dinyatakan pula bahwa argumen yang digunakan sebagai dasar penetapan mukalaf menjadi salah satu syarat adalah argumen aksioma juga.[17]
Namun, syarat ini hanya harus dipenuhi oleh orang yang ingin menyampaikan riwayat hadis saja. Untuk kegiatan penerimaan riwayat hadis dapat saja masih belum mukalaf, asalkan dia telah mumayyiz dengan kata lain dapat memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan antara sesuatu dan sesuatu yang lain. Jadi, bisa dikatakan jika seorang anak kecil menerima riwayat hadis, kemudian setelah mukalaf riwayat tersebut disampaikan kepada orang lain, maka penyampaian riwayat hadisnya telah memenuhi salah satu kriteria ke shaẖîẖ an sanad seseorang.[18]
3.      Melaksanakan ketentuan agama
Para ulama kebanyakan mengambil surat al-Hujurat ayat enam sebagai dasar penetapan melaksanakan ketentuan agama sebagai salah satu syarat. Ayat tersebut berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[19]
Dengan jelas ayat ini memerintahkan kita untuk meneliti kebenaran berita yang berasal dari orang fâsiq. Mayoritas menggunakan ayat ini sebagai dalil bahwa riwayat hadis yang diriwayatkan oleh orang fâsiq harus ditolak.[20]
            Disebutkan bahwa apabila ayat di atas dihubungkan dengan sebab turunnya Alqur’an maka kata fâsiq dalam ayat tersebut berarti orang yang berkata bohong.[21] Menurut Zamakhsyari sendiri arti asal dari kata fâsiq ialah keluar dari jalan yang lurus.[22] Namun, menurut sebagian ulama kata fâsiq dalam ayat tersebut berarti pendusta dan sebagian lain mengartikannya dengan orang yang dikenal berbuat dosa.[23]
            Dalam menerapkan hukum yang diambil dari Alqur’an ulama menganut suatu kaidah hukum yang disebut al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzh la bi khushush al-sabab. Kaidah mempunyai pengertian bahwa hukum yang diambil didasarkan pada pengertian umum redaksi ayat bukan didasarkan kejadian khusus yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut.[24] Apabila kaidah ini diterapkan pada ayat ini, maka ayat ini tidak hanya berlaku pada Walid bin Uqbah saja, yaitu orang yang telah membuat laporan palsu kepada Nabi, namun berlaku kepada masyarakat umum yang berbuat demikian.[25]
            Raghib al-Asfahani (W. 502 H) mengatakan bahwa kata fâsiq dipakai untuk menyebut perbuatan dosa baik kecil ataupun besar, sedikit ataupun banyak. Tetapi yang lebih masyhur kata fâsiq disebutkan untuk menyebut perbuatan dosa yang banyak dan terbanyak. Dengan kata lain, seseorang bisa dikatakan fâsiq karena orang itu pada awalnya menaati dan melaksanakan hukum-hukum syariat Islam dan mengakui kebenarannya, tetapi di sisi lain dia merusakkan sebagian atau bahkan seluruh hukum tersebut. Maka, orang kafir bisa dikatakan orang fâsiq karena telah merusak hukum yang dibenarkan oleh akal dan fitrah manusia yaitu Islam.[26]
            Beberapa ulama tafsir menjelaskan bahwa arti asal kata fisq adalah keluar dari sesuatu. Sedangkan, arti menurut syariat adalah keluar dari ketaatan kepada Allah SWT. Bentuknya bisa berupa kekufuran ataupun perbuatan maksiat lainnya.[27]
            Bisa dikatakan bahwa orang yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan agama Allah SWT tidak akan merasa berat untuk membuat berita bohong, baik berita umum maupun riwayat hadis yang khusus dan sakral. Karenanya orang tersebut tidak bisa dipercaya periwayatan hadisnya.[28]

4.      Menjaga murû’ah
Sebagian ulama menjadikan salah satu hadis Nabi sebagai dasar menjadikan menjaga murû’ah sebagai syarat. Hadis yang dimaksud adalah:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِىِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو أَبِى مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِى فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Diriwayatkan dari ‘Aqabah ibnu ‘Amr dan Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: pernyataan para Nabi yang telah dikenal oleh manusia adalah bila anda tidak merasa malu, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki”[29]
            Ibnu Qudamah mengatakan bahwa orang yang memelihara rasa malunya berarti memelihara murû’ahnya. Jika orang berlaku demikian maka pantang baginya untuk mengatakan atau menyampaikan berita dusta, karena perbuatan seperti itu adalah perbuatan hina yang tidak akan dilakukan bahkan dihindari oleh orang yang sangat menjaga sifat murû’ahnya.[30]
Menyimak beberapa definisi dan syarat yang diajukan oleh banyak ulama di atas, seolah-olah secara umum dapat disimpulkan bahwa seorang rawi yang ‘âdil digambarkan dan diharuskan sempurna dalam bingkai batas-batas ideal, di mana ia harus menjadi seseorang yang tak berdosa. Inilah persoalan yang selalu dikhawatirkan di mana dengan konsep ‘âdil itu diterjemahkan sebagai sesuatu yang berada di luar dimensi insani. Penerjemahan seperti ini, sebenarnya tak bisa dipungkiri karena ditujukan dengan tujuan untuk menggapai autentisitas hadis yang optimal. Namun, di sisi lain dibutuhkan adanya tolak ukur ilmiah dalam menerima periwayatan hadis berhubung pengkodifikasiannya terlambat dibanding Alqur’an. Oleh karena itulah, kebanyakan ulama menerjemahkan ‘âdil pada sisi yang lebih realistis sehingga dapat terukur secara ilmiah.[31]
Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Syâfiî’, Ibnu al-Musayyab dan lain-lain. Ibnu al-Musayyab mengatakan bahwa, yang dimaksud ‘âdil bukanlah yang terlepas dari dosa karena bagaimanapun juga “tidak ada seorang pun yang memiliki kemuliaan atau keilmuan kecuali ia pun memiliki aib. Namun, karena keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, hal ini menjadikan aibnya tak tampak secara jelas.”[32]
Hal senada dikemukakan pula oleh al-Syâfiî’ setelah beliau menjelaskan secara ideal konsep-konsepnya. Dalam hal ini beliau berkata bahwa, “aku tidak mengakui adanya seseorang diberi ketaqwaan pada Allah SWT sehingga ia tidak mencampurkannya dengan kemaksiatan. Hal seperti ini sebagaimana terjadi pada Yahya bin Zakaria a.s. Namun persoalannya, apabila ketaatan seseorang itu lebih banyak dari kemungkarannya maka ia pun termasuk orang yang ‘âdil.[33]
Adapun hal lain yang harus diperhatikan dalam memahami konsep ‘âdil, di samping memiliki pengertian “tidak terlepas dari dosa”, juga yang dimaksud dengan ‘âdil harus dinisbahkan pada periwayatan hadis bukan pada persaksian. Dalam hal ini, dalam persaksian dibutuhkan adanya dua orang saksi, sedangkan dalam periwayatan hadis minimal dibutuhkan satu orang.[34]
Atas dasar ini, para ahli hadis menyusun kaidah-kaidah yang berkaitan dengan syarat dan definisi seseorang disebut orang yang âdil tidak bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Para ahli hadis menilai âdil tidaknya seseorang bukan berdasarkan kebersihan orang tersebut dari dosa, melainkan yang lebih berat timbangan sifat âdil-nya daripada syadz-nya.[35]


[1] Muhammad Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hâkim dalam menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2009), Cet.1, h. 94
[2] Muhammad Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis. h.94
[3] Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis. h.70-71
[4] al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat. h. 156
[5] Hasbyi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. h. 205
[7] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h.118
[8] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 137
[9] Depatemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya. h. 846
[10] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h.138
[11] Muhammad Dhiya’ al-Rahmân al-A’zhamî, Dirâsat fi al-Jarẖ wa al-Ta’dîl, (Riyadh: Dâr al-Salam, 1402 H), Cet.1, h. 177
[12] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 138
[13] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 138
[14] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis. h. 73
[15] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 138.Lihat juga: Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Surabaya: Salim bin Sa’ad bin Nabhan wa Akhuhu Ahmad, t.th), h. 44
[16] Ditakhrij oleh Imam Ahmad, Abû Daud, dan al-Hâkim dari Umar dan Ali r.a. ada juga jalur lain dari sayyidah A’isyah r.a. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthi, Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadah ila al-Jami’ al-Shagir, (Mesir: tanpa penerbit, t.th. Lihat juga Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushûl al-Hadis: Pokok-Pokok Ilmu Hadis. h. 203
[17] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis,  h. 139
[18] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. 1, h. 230
[19] Depatemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya. h. 846
[20] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 139. Lihat juga: Abû Hasan ‘Ali bin Abî ‘Ali bin Muhammad al-‘Âmidiy, al-Ahkâm fi Ushûl al-Ahkâm, (Mesir: Muhammad ‘Ali Shâbih wa Aulâduh, 1387 H), juz 1, h. 261
[21] Abû Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbâb al-Nuzûl Alqur’an, (Riyadh: Dâr al-Qiblat li Saqafat al-Islamiyah, 1404 H), h. 412-414
[22] Abû Qâsim Jar al-Allah Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Faiq fi Ghârib al-Hadis, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H), h. 116
[23] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 139. Lihat juga: Abû ‘Abd al-Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Jamî’ li Ahkam Alqur’an, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1387 H), Cet. 3, juz 16, h. 311-312
[24] Muhammad al-‘Arusi ‘Abd al-Qadir, Masalah Takhshish al-‘Am bi al-Sabab au al-‘Ibrah bi ‘Umum al-Hukm la bi Khushush al-Sabab, (Kairo: al-Mathba’ah al-‘Arabiyyah al-Hadisah, 1403 H), h. 54-62
[25] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 140
[26] Abû Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib Alqur’an, (Mesir: Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1382 H), h. 380
[27] al-Qurthubi, Jami’ li Ahkâm Alqur’an. juz 1, h. 245-246
[28] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 141
[29] Muhammad bin Yazid Abi ‘Abdillah al-Qazawaini, Sunan ibn Majah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), juz II, h. 1400
[30] Abû Muhammad ‘Abd al-Allah bin Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah, al-Mughni li Ibn Qudamah, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadisah, 1401 H), Juz IX, h. 169
[31] M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. h.31
[32] M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. h.32
[33] Rif’at Fawzi ‘Abd al-Muthallib, Tawtsiq al-Sunnah fi al-Qarn al-Tsani al-Hijri. h.129. lihat juga: M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. h.32
[34] Fatcurrahman, Ikhtishar Musthalâh al-Hadis.h. 249. lihat juga: M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis. h.32
[35] Faruq Hamadah, al-Manhaj al-Islami fi al-Jarẖ wa al-Ta’dîl: Dirâsah Manhajiyyah fi ‘Ulûm al-Hadis, (Beirut: Dâr al-Nasyr al-Ma’rifah, 1989), h. 158-159. Lihat juga: Abdul Hakim, ‘Adalah al-Shahabah Menurut Ahmad Amin. h. 29

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Lubabul Hadits (Matan Tanqihul Qaul) Bahasa Sunda (Pembukaan)

Makalah Objek Kajian Filsafat

Syair-syair-an (لو لا مربى ما عرفت ربى)