Muhammadiyyin & Nahdiyah (Resensi novel kambing dan hujan)

    Prasangka adalah jarak yang menjadi nyata. kira-kira begitulah akar masalah pada novel pemenang DKJ ini. novel ini dimulai ketika seorang anak Kiai NU bernama Fauzia secara tidak sengaja bertemu dengan Miftah yang merupakan anak Kiai Muhammadiyah. keduanya adalah tetangga dekat yang berjauh sedari kecil karena khilafiyah (perbedaan) pandangan dalam beberapa aturan ibadah. seperti yang diduga, pertemuan itu menjadi percik asa untuk keduanya untuk memadu rasa selamanya. Setelah beberapa lama berhubungan, bertukar pesan, mengaminkan do'a yang sama, hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menghalalkan hubungan mereka berdua.

    Fauzia dan Mif (panggilan miftah) kemudian meminta restu pada ayah mereka yaitu Muhammad Fauzan yang merupakah ayah Fauzia dan Iskandar yang merupakan ayah Mif. Keduanya tak mengatakan tidak pada keinginan anak-anaknya secara langsung. Lantas keduanya kemudian menceritakan cerita Is dan Moek yang merupakah dua sahabat karib sejak kanak-kanak tapi kemudian tak lagi bertegur sapa bahkan ketika tak sengaja berjumpa karena menganut faham yang berbeda. Is yang merupakan seorang anak gembala miskin, namun mempunyai otak cemerlang dan moek sahabatnya merupakan seorang anak yang lumayan berkecukupan, namun dengan otak pas-pasan. Keduanya bersahabat sejak sekolah SR (Sekolah Rakyat yang sekarang disebut SD) yang bertukar gagasan dengan obrolan-obrolan ringan diselingi pertengkaran sebelum kemudian tersenyum tertawa berbaikan. Hubungan keduanya mulai berjarak ketika Moek melanjutkan pendidikannya ke Pesantren di Jombang sedangkan Is melanjutkan pekerjaannya sebagai gembala dan mengaji di kampung mereka berdua yaitu Centong. Mereka saling bertukar surat bercerita rindu, keadaan masing-masing hingga nasib dan gagasan-gagasan agama. Is yang mengaji di Centong kemudian menemukan sosok ustadz idola yang menjadi inspirasi bernama Cak Ali yang merupakan lulusan pesantren modern yang kemudian diketahui mengikuti faham pembaharu yaitu Muhammadiyah. Sedangkan Moek yang lama-lama mengetahui bahwa Is mempunyai faham yang berbeda dengannya  berjumpa dengan sosok senior idola bernama Ali Qomarullaeli.

    Beberapa hari dirundung cerita lama Is dan Moek, kemudian Fauzia dan Mif sadar bahwa sosok Is dan Moek adalah ayah mereka sendiri yaitu Iskandar yang dipanggil Is dan Muhammad Fauzan yang dipanggil Moek. Konflik perbedaan yang menjulang mulai dari hari raya berbeda, bacaan do'a iftitah yang berbeda, lafal adzan yang berbeda ditambah konflik masa lalu antara Iskandar dengan keluarga besar Moek yang berafiliasi dengan NU, membuat hubungan mereka berdua menjadi mustahil terwujud.

    Namun, semua perbedaan itu menghilang oleh kejadian perkelahian antara Mif dan Fu'ad (kakak Fauzia) yang disusul dengan kemarahan pakde Anwar yang kebetulan merupakan kakak ipar dari Moek dan Is. Setelah lama menahan rindu oleh jarak menganga mereka berdua akhirnya bersenda gurau bersama diawali dengan sodoran rokok murah dari Moek yang terkena gejala diabetes kepada Is yang lama mengidap asam urat.

    Novel ini menjadi cinta kedua saya setelah Sang Alkemis karangan Paulo Coelho setelah berapa lama kering tak membaca karena disibukkan kerja dan rencana-rencana dalam kepala. Salah satu petikan cerita yang membekas adalah obrolan luap-luap rindu dari Is dan Moek yaitu:

"Kalian singkirkan beduk dari mesjid karena menganggapnya bid'ah, lalu membawa masuk pengeras suara dan menyebutnya sebagai kemajuan. Konyol" kata Moek.

Lalu Is menjawab :

"Kalau Rukyat itu lebih utama, kenapa kalian lihat jam kalau mau shalat lima waktu? itu hasil hisab tahu? Lucu"

    Namun, sedikit kekurangan pada novel ini yang membuat saya penasaran dan tak mendapat klimaks adalah sang penulis Mahfud Ikhwan tak menceritakan bagaimana ekspresi pertama Fauzia dan Mif setelah kedua ayahnya kemudian merestui hubungan mereka. Padahal saya sebagai pembaca setelah diaduk gundah khawatir mengenai hubungan mereka amat sangat menunggu obat bahagia dari luapan kaget bercampur tangis syukur bangga dari mereka berdua.


Bandung, 31 Januari 2021 (bertepatan dengan harlah NU ke 95)
Ponpes Darul Ma'arif 18 Jumadil Tsani 1442 H.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Lubabul Hadits (Matan Tanqihul Qaul) Bahasa Sunda (Pembukaan)

Makalah Objek Kajian Filsafat

Syair-syair-an (لو لا مربى ما عرفت ربى)