Nona Dalam Gantungan (chapt 1 Sabda Maharasa)
BABUL AWWAL
Seorang lelaki bersandar sambil
memegang sebuah kitab fiqih klasik berjudul I’anathuth Thalibin.
Dilihatnya kata perkata untuk mencari sebuah keterangan tentang fadhilah puasa
rajab. Kebetulan seminggu lagi akan memasuki bulan Rajab pada saat itu. Di meja
biru tempat ia sering membaca buku atau kitab, terdapat gantungan kunci sebuah
kantor tempat ia bekerja. Gantungan kunci lain biasanya ia gantungkan di tempat
gantungan baju, jaket dan celana yang biasanya akan dipakai lagi nanti.
Sesekali ia tersenyum melihat gantungan kunci itu, lalu kembali fokus membaca
kitab yang ia pelajari.
Waktu tak terasa sudah larut, jam
dinding dekat jendela kamarnya sudah terlihat kusam. Jarum besarnya menunjuk
angka 10 dan jarum panjangnya menunjuk angka 4. Ia sedikit mengantuk dan
memutuskan untuk menutup kitabnya lalu berbaring di sopa panjang dekat
kamarnya. Sebelum menuju sopa ia tersenyum melihat gantungan kuncinya dan
membawanya sambil ditatap penuh senyum.
Di sopa panjang yang menjulur ke
utara, ia rebahkan raga payahnya dan rasa lelahnya bersamaan. Tangan kanannya
memegangi gantungan kunci tersebut sambil diangkat ke dekat wajahnya yang
tersenyum gemas. Terlihat ujung bibirnya tertarik ke atas, matanya berseri
tipis sambil terdengar sedikit suara tawa lega nan Bahagia.
Kadang gantungan kunci itu ia
putar satu arah, kadang gambarnya ia usap untuk menghilangkan lelah. Sudah 3
hari ia mendapatkan gantungan kunci itu, mungkin sejak hari rabu tepatnya.
Sebenarnya itu bukan gantungan kunci miliknya, itu milik atasan tempat ia
bekerja. Kebetulan pada hari rabu, atasannya lupa membawanya pulang, lantas ia
sigap mengamankannya dengan hati penuh Bahagia.
Jika orang-orang bisa melihat
tingkahnya pada waktu itu, pasti mereka heran dan penasaran. Tapi jika
orang-orang bisa merasakan perasaannya pada waktu itu, pasti mereka ikut
bahagia gemas seperti apa yang ia rasakan. Perasaannya berseri serupa wajah
bahagia bertemu seorang peri. Sering kali ia melihat tembok atas plafon
kamarnya, tapi yang terlihat hanya gantungan kunci itu dengan bingkai bening
mengkilap.
Gantungan kunci itu berbentuk persegi
panjang dengan bahan akrilik bening. Di bawahnya ada lubang tipis untuk
memasukan kertas atau foto seseorang. Di dalam celah itu tinggalah foto seorang perempuan
dengan senyum manis sambil memakai kerudung dengan warna agak pucat yang serasi
dengan baju yang dipakainya. Wajahnya terlihat jelas dengan mata berseri dan
pipi terangkat ke atas. Hal itu yang membuat lelaki tadi tak bisa memalingkan
wajahnya baik dalam keadaan mata terbuka atau mata tertutup. Ia merasa segalanya
menjadi hidup pada hari-hari menggemaskan itu, terutama bingkai foto sederhana
yang membuatnya bahagia luar biasa. Bahkan, seolah-olah pria itu bisa mendengar
suara serak perempuan muda tersebut memanggil namanya.
Tampaknya, yang membuat lelaki
itu bahagia adalah foto dalam gantungan kunci itu, lengkap dengan senyum
manisnya yang terbawa dalam setiap lamunan sadarnya. Ia kerap kali mengeluarkan
gantungan kunci itu dan menatapnya penuh gemas. Bahkan sesekali berbicara lirih
dengan suara pelan “meni manis senyumna” atau berbicara dalam hatinya
“allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad” sebanyak tiga kali persis seperti
ketika orang-orang ingin memiliki sesuatu untuk segera dikabulkan oleh tuhan.
Lelaki itu adalah pria pemalu,
jika di hadapan orang lain gantungan kunci itu ia simpan dan rahasiakan. Tapi
jika sendirian, ia keluarkan terang-terangan sembari meluapkan rasa gemas dan
bahagianya karena senyuman seorang perempuan. Ia sering tak sadar melalaikan
beberapa tugas pekerjaan karena ingin berlama-lama memandang mainan gemasnya. Barulah
ketika ada orang lain di dekatnya ia kembali sadar dan melanjutkan kewajibannya.
Tapi, hari-hari penuh bunga dari
benih rasa bahagia itu tak berlangsung lama. Sekitar 15 hari setelah setiap
malamnya ia sering tersenyum melihat gantungan itu, gantungan itu harus
berpindah tangan. Hari sabtu ketika memasuki bulan Rajab, atasannya menanyakan
keberadaan kunci itu padanya. Jadi, dengan sangat terpaksa, ia memberikan
gantungan kunci itu dengan hati berat layaknya kehilangan seluruh alasan ia
mendapat kebahagiaan.
Hari-hari setelahnya adalah masa
transisi dari hari-hari menggemaskan menuju hari-hari mencemaskan. Ia sering
menunda makan, bahkan menunda-nunda senyuman. Nampaknya ada rasa yang tertahan
seperti sinar cerah tertutup awan merah di sore hari, redup dan segera
tertutup. Namun keadaan itu membuatnya lebih terlatih menahan diri, membangun
kebahagiaan sendiri. Ia sempat menuliskan beberapa bait puisi untuk nona dalam
gantungannya.
Hujan dan kemarau
menutupi angan-angan kenangku
Tapi, senyummu
bergeming menyingkap awan-awan keningku
Di bawah sendu hujan
yang dinginnya tak lagi kau hiraukan
Tangan-tangan
kesepian memelukku dengan sebenar dekapan
Di meja biru tempatku
meletakan sebuah harapan
Pernah ada pesta pora
penuh keramaian
Di ujung deretan
koleksi buku aku merenung;
Mungkinkah memindahkan
Firdaus
Ke bentangan bumi
tandus
Ke lembah-lembah hati
nan tulus
افضل شعور
هو عند ما تلتفت الى وجه و تجده يحدق بك
“Perasaan terbaik
adalah ketika dirimu menoleh ke wajahnya dan menemukannya sedang memandang
wajahmu”
Komentar